“Sejak adanya pembebasan tanah itu, antara PT KAI dan terdakwa terjadi selisih paham dan konflik di atas status tanah tersebut. Apakah ada peralihan penyewaan, atau apakah tanah itu sudah bebas sebagai tanah negara. Ini menjadi pertanyaan. Sehingga, ini seharusnya masuk ranah perdata. Dengan demikian, perbuatan terdakwa adalah perbuatan dalam ranah perdata, bukan di ranah pidana,”
Sutedjo
Hakim Ketua
UTUSANINDO.COM,(PADANG) – Majelis Hakim Pengadilan Negeri (PN) Padang menjatuhkan vonis lepas dari segala tuntutan (onslag van recht vervolging) terhadap Pemilik Basko Grup H. Basrizal Koto (Basko), atas kasus dugaan pemalsuan surat. Dalam penilaian hakim, bukan pada tempatnya menyidangkan kasus ini di ranah pidana, karena Basko tak terbukti melakukan tindak pidana.
Sidang pembacaan putusan digelar di Ruang Cakra PN Padang, Rabu (22/11). Meskipun sempat ditunda selama beberapa jam dari jadwal semula, sidang tetap dimulai sekitar Pukul 15.00 WIB. Setelah meminta kesepakatan dari Jaksa Penuntut Umum (JPU) dan Penasihat Hukum (PH), terdakwa, hakim yang diketuai Sutedjo dengan anggota Agnes Sinaga dan R Ari Muladi pun membacakan poin-poin penting dalam putusannya.
Putusan diawali dengan merunut jalannya persidangan sejak putusan sela dibacakan. Dalam putusan sela, setelah mempelajari keterangan para saksi di hadapan penyidik, serta memeriksa bukti-bukti surat yang diajukan kedua belah pihak, hakim memutuskan sidang berlanjut ke ranah pembuktian.
Selanjutnya, selama agenda pembuktian, majelis hakim telah memeriksa sebanyak 27 saksi fakta, ditambah masing-masing dua ahli dari kedua belah pihak, dan beberapa alat bukti yang diajukan kedua belah pihak. Hingga pada agenda penuntutan, jaksa menilai Basko telah melanggar ketentuan pada Pasal 263 ayat (1) KUHP tentang surat palsu, dan menuntut Basko dihukum dengan kurungan penjara selama 3 tahun.
Pasal 263 ayat (1) sendiri berbunyi; barang siapa membuat surat palsu atau memalsukan surat yang dapat menimbulkan sesuatu hak, perikatan atau pembebasan utang, atau yang diperuntukkan sebagai bukti daripada sesuatu hal dengan maksud untuk memakai atau menyuruh orang lain memakai surat tersebut seolah-olah isinya benar dan tidak dipalsu, diancam jika pemakaian tersebut dapat menimbulkan kerugian, karena pemalsuan surat, dengan pidana penjara paling lama enam tahun.
Dalam pertimbangan putusannya, hakim menilai bahwa segala unsur pidana dalam Pasal 263 ayat (1) yang diajukan jaksa telah terpenuhi. Di antaranya unsur barang siapa, unsur memalsukan surat, unsur dalam maksud memakai atau menyuruh orang memakai surat palsu, dan unsur surat palsu menimbulkan kerugian.
Tentang unsur barang siapa, hakim menilai terdakwa di persidangan telah memberikan identitasnya, berada dalam kondisi sehat, dan dapat dimintai pertanggungjawaban. Dan berdasarkan keterangan para saksi, tidak terjadi eror in persona dalam perkara ini. Sehingga, unsur ini dinilai terpenuhi.
Kedua, tentang unsur pembuatan surat palsu, hakim menjelaskan, surat palsu adalah surat yang tidak semestinya dibuat, atau asalnya tidak benar. Dalam pandangan hakim, Basko pada beberapa kesempatan dinilai telah membuat surat permohonan penerbitan sertifikat HGB di atas tanah seluas 1986 m² dengan dasar status hak tanah negara bekas Eigendom Verponding 1650.
Pengajuan permohonan HGB itu pun dipenuhi oleh Kantor Badan Pertanahan Nasional (BPN) Kota Padang, dengan terbitnya sertifikat HGB Nomor 200, 201, dan 205. Namun, menimbang adanya alat bukti penyewaan di tanah yang sama antara PT Basko Minang Plaza (BMP) dengan PT Kereta Api Indonesia (KAI) sejak 1994, membuat hakim menilai unsur pembuatan surat palsu dalam hal ini juga terpenuhi.
Pada unsur ketiga, tentang memakai dan/atau menyuruh orang memakai surat palsu, menurut hakim, berdasarkan keterangan saksi-saksi yang dihadirkan di persidangan, serta keterangan saksi Novrizal Chai tentang pemberian kuasa secara lisan oleh Basko kepadanya untuk mengurus permohonan ke BPN, maka hakim menilai unsur ini pun terpenuhTerkait unsur keempat tentang menimbulkan kerugian, hakim menilai berdasarkan keterangan saksi yang melakukan pengukuran ulang, dijelaskan bahwa tanah yang menjadi objek sengketa merupakan aset PT KAI dengan status kepemilikan groonkaart 1888. Sehingga tindakan permohonan penerbitan HGB yang berujung terbitnya HGB 200, 201, dan 205 atas nama Basko, menimbulkan kerugian pada pihak PT KAI. Sehingga, unsur ini pun dinilai terpenuhi.
Groonkaart Itu Tak Pernah Didaftarkan
Namun yang menjadi persoalan menurut hakim, klaim PT KAI bahwa tanah yang telah timbul HGB 200, 201, dan 205 atas nama Basko di atasnya sebagai aset PT KAI, tidak dibarengi dengan upaya PT KAI untuk menunjukkan bukti groonkaart itu jauh-jauh hari kepada pihak Basko. Sedangkan kepada pihak BPN sebagai pejabat yang berwenang atas penetapan status tanah, groonkaart itu tidak pernah didaftarkan.
Kemudian, hakim juga mempertimbangan tindakan PT KAI melakukan pemagaran atau pemalangan terhadap lahan yang telah terbit HGB 200, 201, dan 205 atas nama Basko tersebut. Tindakan itu menuai reaksi berupa pencabutan palang oleh seseorang, hingga seseorang itu dipolisikan, diproses secara hukum, dan diputus bersalah oleh pengadilan.
Menimbang semua itu, hakim dalam analisanya menilai, perselisihan antara PT KAI dan Basko terjadi setelah kejadian adanya uang sewa yang tidak dibayar. Setelah itu, Basko membebaskan tanah dan melakukan proses ganti rugi terhadap penghuni di atas tanah tersebut, yang diakhiri dengan mengajukan permohonan penerbitan sertifikat ke BPN.
Menurut Hakim, wajar dan logis bila Basko menyebut bahwa tanah tersebut adalah tanah negara bekas Eigendom Verponding 1650, dengan dasar sertifikat induk HGB Nomor 72 yang telah dibeli Basko dari PT Pembangunan Padang. Meski pun pada dasarnya Eigendom yang dimaksud tak lagi ditemukan. Pembebasan sisa dari tanah HGB 72 dengan dalih dasar tanah negara menjadi wajar karena PT KAI tidak pernah mengajukan dan mendaftarkan bukti groonkaart 1888 kepada pihak Basko dan pihak BPN.
“Sejak adanya pembebasan tanah itu, antara PT KAI dan terdakwa terjadi selisih paham dan konflik di atas status tanah tersebut. Apakah ada peralihan penyewaan, atau apakah tanah itu sudah bebas sebagai tanah negara. Ini menjadi pertanyaan. Sehingga, ini seharusnya masuk ranah perdata. Dengan demikian, perbuatan terdakwa adalah perbuatan dalam ranah perdata, bukan di ranah pidana,” tegas Sutedjo.
Sutedjo menambahkan, oleh karena di ranah pembuktian segala unsur telah terpenuhi, tetapi tidak pada tempatnya memerkarakan kasus ini di ranah pidana, maka hakim memutuskan Basko terlepas dari segala tuntutan, sesuai dengan ketentuan pada Pasal 191 ayat (2) KUHAP.
“Majelis hakim telah mempelajari pokok tanggapan jaksa penuntut umum dalam tanggapan atas pembelaan, dan menyatakan menolak pokok pikiran tersebut. Selain itu, hal-hal yang terdapat dalam pokok pikiran pembelaan terdakwa, hakim menyatakan sependapat,” sebutnya lagi.
Menanggapi putusan tersebut, Penasihat Hukum Basko, Dr. Fachmi, SH, MH ikut menjelaskan, bahwa kasus yang terjadi bukan perkara pidana, sebab tidak ada perbuatan melawan hukum pidana yang dilakukan oleh kliennya.
“Berdasarkan pasal 191 KUHAP, harus dilepas dari tuntutan hukum. Jika pun semua unsurnya terbukti, itu berarti sebuah kesalahan. Sebab perbuatan hukumnya tidak ada. Setiap tindak pidana itu harus ada perbuatan melawan hukumnya, ini tidak ada,” kata Fachmi didampingi Irawan selaku anggota tim PH.
Menanggapi adanya perbedaan pendapat (disenting opinion) dari hakim anggota R Ari Muladi, yang menilai Basko sepatutnya bersalah dan layak dihukum berdasarkan tuntutan jaksa, Fachmi menilai hal itu menjadi bagian dari dinamika demokratisnya sebuah putusan. “Itu sangat banyak terjadi. Tapi dalam mekanisme suara terbanyaknya, hakim bersangkutan tentu kalah,” katanya lagi.
Sementara itu, Mulyadi Sajaen selaku JPU mengaku pikir-pikir setelah mendengar putusan hakim. “Kami gunakan waktu yang diberikan hakim untuk pikir-pikir. Kami pelajari dulu putusannya sebelum mengambil langkah hukum selanjutnya,” pungkasnya.
Sumber: haluan.com
Discussion about this post