UTUSANINDO.COM- Sejak beroperasi pada 1 Januari 2014, BPJS Kesehatan, yang mendapat tugas khusus menangani biaya pengobatan murah bagi masyarakat, terus dirundung kekurangan anggaran. Pada 2014, misalnya, lembaga ini mengalami defisit anggaran Rp 1,54 triliun. Tahun berikutnya, 2015, defisit membengkak menjadi Rp 5,85 triliun. Kekurangan anggaran ini ditutup dengan penyertaan modal negara (PMN).
Tahun ini, anggaran BPJS Kesehatan terancam tekor sampai pada angka Rp 10 triliun karena terus melonjaknya klaim kesehatan yang harus dibayar. Padahal dana penyertaan modal negara untuk menutup defisit BPJS Kesehatan yang masuk dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara Perubahan 2016 hanya sebesar Rp 6,8 triliun. April lalu, BPJS Kesehatan juga sudah menaikkan tarif premi untuk peserta mandiri dan penerima bantuan iuran. Ada defisit sekitar Rp 3,2 triliun yang belum jelas sumber pembiayaannya.
Senin lalu, Menteri Koordinator Pembangunan Manusia dan Kebudayaan Puan Maharani mengumpulkan menteri terkait untuk membahas hal ini di kantornya. Menurut Menteri Kesehatan Nila Moeloek, yang mengikuti rapat itu, pemerintah belum memutuskan bagaimana menutup sisa defisit anggaran BPJS di luar PMN dan opsi kenaikan tarif premi yang sudah dilakukan April lalu.
Pemerintah harus mengambil langkah fundamental untuk membenahi karut-marut BPJS Kesehatan ini. Defisit anggaran tahun ini, misalnya, membuktikan kegagalan manajemen perusahaan pelat merah tersebut. Direksi, misalnya, tidak tegas menagih tunggakan iuran BPJS kepada sejumlah pemerintah daerah yang selama ini kerap menunggak. Walhasil, penerimaan lebih rendah ketimbang premi yang harus dibayar.
Pengawasan terhadap penyaluran klaim pengobatan juga rendah. Data jaminan kesehatan Kementerian Kesehatan, misalnya, menyebutkan 80 persen belanja BPJS Kesehatan mengalir untuk membiayai klaim pengobatan di rumah sakit. Nilainya jelas lebih mahal dibanding klaim di fasilitas pelayanan kesehatan seperti pusat kesehatan masyarakat (puskesmas). Pengawasan kepatuhan pembayaran premi peserta juga lemah. Pengawasan yang longgar ini menyebabkan defisit anggaran BPJS Kesehatan selalu berulang.
Pembenahan sistem juga menjadi prioritas. Pemerintah, misalnya, harus segera merevisi tarif pengobatan ke rumah sakit atau tarif Indonesia case-based groups (INA CBGs). Tarif berdasarkan diagnosis dokter ini mempengaruhi dan memperbaiki penanganan medis pasien. Hal ini bisa meningkatkan jumlah peserta, karena pelayanan semakin baik tanpa perlu menaikkan premi. BPJS harus kembali ke khitahnya menyediakan jaminan kesehatan yang murah bagi masyarakat
TEMPO
Discussion about this post