UTUSANINDO.COM,(JAKARTA) – Komisi Perlindungan Anak Indonesia( KPAI) akan menemui anak-anak pelaku maupun ananda SB dan keluarganya beberapa hari ke depan
”Karena KPAI menunggu situasi mereda, cooling down dulu demi kepentingan anak-anak.Ini kan melibatkan anak-anak, jadi kita harus pikirkan mempertimbangkan kondisi psikologis anak-anak. Selain itu, sekolah harus kondusif demi kepentingan keberlasungan belajar anak-anak lain, apalagi ini jelang akhir semester,”urai Retno Listyarti, Komisioner KPAI bidang pendidikan.
KPAI akan segera menemui Kepala Dinas Pendidikan Provinsi DKI Jakarta pada senin depan untuk membicarakan jaminan hak atas pendidikan ananda SB jika tetap bersekolah di tempat yang sama atau jika ingin pindah sekolah sebagaimana pernah dilontarkan oleh ibunda SB kepada pihak sekolah.
“Yang perlu dipikirkan sekarang adalah kondisi ananda SB yang sudah tidak masuk sekolah cukup lama, KPAI akan meminta sekolah membantu SB mengejar ketinggalan pelajarannya. Kalau mau pindah sekolah kan harus menunggu rapor semester ganjil yang akan dibagikan pada Desember nanti,”ujar Retno Listyarti.
Terkait rencana kepindahan sekolah ananda SB, KPAI akan meminta pihak sekolah dan Dinas pendidikan membantu sesuai tupoksi masing-masing.
“Yang pasti, pihak sekolah sudah menyatakan ke KPAI bahwa jika ananda SB masih mau bersekolah di SDN Pekayon maka pihak sekolah menyambut dengan hangat, dan jika ingin pindah sekolah maka pihak sekolah juga siap membantu,” lanjut Retno
Kasus Penusukan Sudah Dimediasi
Menurut penjelasan sekolah saat KPAI melakukan pengawasan langsung, bahwa orangtua SB tidak pernah melapor ke sekolah terkait dugaan tindak kekerasan dan persekusi yang dialami SB.
Sekolah mengaku baru mengetahui bahwa ananda SB mengalami kekerasan fisik berupa penusukan pena ditangan pasca viralnya pernyataan paman SB di media social Facebook.
Hal ini juga yang diduga kuat menjadi alasan bagi orangtua SB yang berencana memindahkan SB ke sekolah lain setelah pembagian rapor semester ganjil.
Sekolah memang mengakui bahwa ananda SB tidak masuk selama seminggu, namun belum tahu alasannya karena pihak sekolah belum sempat melakukan home visit kala itu dengan dalih wali kelasnya SB juga sedang sakit. Terkait temuan ini, KPAI akan meminta Dinas Pendidikan DKI Jakarta untuk melakukan evaluasi.
Kasus penusukan dengan pena oleh 2 (dua) teman sekelas ananda SB kemudian diselesaikan melalui mediasi di Polsek Pasar Rebo pada selasa, 31 Oktober 2017 jam 19.00 wib.
Namun, dari penelusuran KPAI di sekolah, saat penusukan dengan pena, sama sekali tidak ada pernyataan “bunuh bunuh” dari kedua anak pelaku. Mediasi dilakukan tanpa kehadiran anak-anak pelaku maupun anak korban, hanya dihadiri oleh orangtua masing-masih pihak.
Pasca mediasi tersebut, KPAI akan menemui keluarga pelaku maupun keluarga korban untuk kepentingan pemulihan psikologis terhadap anak-anak.
“Jika ada trauma healing terhadap anak pelaku maupun anak Koran maka KPAI akan membantu pemulihan psikologisnya dengan merujuk pada P2TP2A Jakarta,” ungkap Retno.
Khusus pada orangtua ananda SB, KPAI juga akan mendalami rencana kepindahan ananda jika memang hal tersebut demi kepentingan terbaik bagi anak. KPAI akan bersedia membantu mengkomunikasikannya kepada pihak Dinas Pendidikan DKI Jakarta terkait jaminan kelangsungan hak pendidikan ananda SB.
Dari penelusuran KPAI, memang bully berupa kekerasan verbal dengan julukan “AHOK” terjadi, bahkan ananda SB sejak kelas 1 (satu) memang sudah di juluki Ahok, di duga hal tersebut terjadi karena SB secara fisik memang putih, sipit dan ganteng.
Saat itu, julukan Ahok dirasa positif karena pada 2015 tersebut, pak Ahok adalah Gubenur yang banyak mendapatkan pujian. Kondisi tersebut memang dibiarkan oleh guru kelas dan guru agama karena menganggap panggilan itu bukan bully.
Namun, pasca Pilkada panggillan Ahok terhadap ananda SB terlontar jika SB melakukan suatu keisengan terhadap teman-teman nya di kelas, dimana teman yang di jahili tersebut kesal. Saat itulah terlontar kata dasar Ahok.
KPAI menilai bahwa disinilah letak bully tadi, dimana makna nama Ahok yang sebelumnya positif kemudian bergeser menjadi bermakna negatif.
Kasus ini dapat menjadi pembelajaran bersama bagi sekolah maupun Dinas Pendidikan untuk evaluasi menyeluruh, terutama di sekolah-sekolah negeri, tidak hanya di sekolah tempat ananda SB bersekolah tapi seluruh sekolah di semua jenjang pendidikan untuk membangun Sekolah Ramah Anak (SRA) dan memperkuat nilai-nilai kebangsaan serta menyemai keragaman. (rel/can)
Discussion about this post