Retno Listyarti, Komisioner KPAI bidang Pendidikan
UTUSANINDO.COM,(PADANG) – KPAI menerima sejumlah pengaduan melalui akun Facebook KPAI maupun aplikasi WhatsApp, terkait dugaan kasus persekusi di salah satu SD Negeri di wilayah Pasar Rebo, Jakarta Timur. Dalam tulisan yang viral tersebut dinyatakan bahwa ananda SB mengalami kekerasan dari teman sebayanya dengan menggunakan ujung pena dan dijuluki Ahok.
Setelah menerima pengaduan, KPAI segera berkoordinasi dengan Dinas Pendidikan Provinsi DKI Jakarta untuk meminta klarifikasi. Saat itu, Dinas Pendidikan DKI Jakarta menjelaskan bahwa SDN 16 Ciracas sudah di lebur atau di merger menjadi SDN 13 Ciracas dua tahun yang lalu. KPAI kemudian juga diberi data bahwa nama siswa yang dimaksud tidak terdapat dalam daftar nama siswa di sekolah tersebut. Namun, pihak Dinas Pendidikan DKI Jakarta menyatakan akan tetap melacak dan berjanji menyampaikan progresnya kepada KPAI.
Satu jam setelah bertemu dengan pihak Dinas Pendidikan DKI Jakarta, KPAI menerima informasi bahwa SDN yang dimaksud berada di wilayah Pekayon (bukan Ciracas), Pasar Rebo, Jakarta Timur. Akhirnya, KPAI memutuskan untuk langsung pengawasan ke sekolah.
Dari informasi yang diterima KPAI, saat itu sedang berlangsung mediasi antara orangtua ananda SB termasuk pamannya, pihak sekolah, dan pengawas sekolah. Belakangan pihak Polsek setempat juga datang ke sekolah. Sayangnya saat KPAI tiba di sekolah, pertemuan tersebut sudah selesai dan para pihak sudah meninggalkan lokasi.
Saat KPAI meminta informasi hasil mediasi, ternyata tidak ada poin-poin kesepakatan, KPAI menduga hal tersebut bukan mediasi tapi klarifikasi. Satu-satunya informasi yang muncul adalah, bahwa ibunda SB meminta kasus ini tidak diperpanjang. KPAI juga menyayangkan saat mediasi tersebut, ananda SB ada dalam ruangan dan diduga juga ada pihak media massa yang ikut di dalamnya. Pihak sekolah mengaku banyak tidak mengenali pihak-pihak yang hadir tersebut.
Sesampai di sekolah, KPAI segera meminta keterangan pihak-pihak terkait di sekolah, seperti Kepala Sekolah, wali kelas (kebetulan tidak masuk karena sedang sakit), guru agama Ananda SB, dan juga pengawas sekolah. Secara kebetulan, rombongan dinas pendidikan provinsi DKI Jakarta juga sudah tiba di lokasi.
Menurut penjelasan pihak sekolah, ananda SB sejak kelas 1 (satu) memang sudah di juluki Ahok, di duga hal tersebut terjadi karena SB secara fisik memang putih, sipit dan ganteng. Saat itu, julukan Ahok dirasa positif karena pada 2015 tersebut, pak Ahok adalah Gubenur yang banyak mendapatkan pujian. Kondisi tersebut memang dibiarkan oleh guru kelas dan guru agama karena anak-anak lain tidak bermaksud membully.
Namun, pasca Pilkada panggillan Ahok terhadap ananda SB terlontar jika SB melakukan suatu keisengan terhadap teman-teman nya di kelas, dimana teman yang di jahili tersebut kesal. Saat itulah terlontar kata dasar Ahok. KPAI menilai bahwa disinilah letak bully tadi, dimana makna nama Ahok yang sebelumnya positif kemudian bergeser menjadi bermakna negatif. Hal ini juga yang diduga kuat menjadi alasan bagi orangtua SB yang berencana memindahkan SB ke sekolah lain setelah pembagian rapor semester ganjil.
Namun, pihak sekolah membantah bahwa ananda SB mengalami kekerasan fisik berupa penusukan pena pada tangan, karena menurut sekolah saat klarifikasi di sekolah tidak ditemukan luka pada tangan SB. Pihak sekolah juga menyatakan bahwa orantua SB tidak pernah melapor ke sekolah terkait dugaan tindak kekerasan dan persekusi. Tapi mengakui bahwa SB sudah tidak masuk selama seminggu dan pihak sekolah belum sempat melakukan home visit.
KPAI akan melakukan home visit untuk menemui ananda SB dan keluarganya di hari lain. Karena tadi tidak memungkinkan lantaran pihak keluarga SB masih dimintai keterangan di kepolisian.
KPAI tentu saja prihatin dengan kasus ini dan akan mendalami. Jika memang ananda SB membutuhkan pemulihan secara psikologis untuk mengatasi trauma healingnya maka KPAI akan merujuk P2TP2A Jakarta untuk mendampingi. Jika memang ada luka pada tubuh ananda SB maka KPAI akan merujuk pada Rumah Sakit terdekat untuk pengobatan. Selain itu, LPSK (Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban) juga sempat berkoordinasi dengan KPAI untuk pendampingan ananda SB dan keluarga jika dibutuhkan.
Kasus ini dapat menjadi pembelajaran bersama bagi sekolah maupun Dinas Pendidikan untuk evaluasi menyeluruh, tidak hanya di sekolah tempat ananda SB bersekolah tapi seluruh sekolah di semua jenjang pendidikan untuk membangun Sekolah Ramah Anak (SRA) dan memperkuat nilai-nilai kebangsaan serta menyemai keragaman.
Discussion about this post