UTUSANINDO.COM,(JAKARTA) – Proyeksi Bank Dunia (WB) atas perekonomian Indonesia tahun 2017 hanya tumbuh 5,1 persen. Untuk tahun depan, WB lebih optimistis bisa 5,3 persen. WB melihat kondisi stagnan pertumbuhan semester I 2017 di kisaran 5,01 persen dan tidak ada percepatan yang memacu pertumbuhan lebih tinggi di sisa waktu tahun ini.
Country Director WB, Rodrigo Chaves, meyakini faktor tahun politik bisa menjadi sentimen negatif pertumbuhan ekonomi, meski tahun depan masih tetap ada optimisme. Revisi pertumbuhan versi WB pada dasarnya tidak bisa terlepas dari faktor yang sebenarnya mendukung seperti data investasi. Mengacu BPKM pada semester I 2017 realisasi investasi mencapai 336,7 triliun atau naik 12,9 persen dari periode sama tahun lalu.
Artinya, realisasi investasi tahun ini mencapai 49,6 persen dari target 678,8 triliun. Maka, logis jika pemerintah mengeluarkan sejumlah paket kebijakan untuk memacu daya tarik investasi dan juga pertumbuhan. Di antaranya, kemudahan perizinan, reformasi perpajakan, dan tax amnesty.
Tentu beralasan Menkeu Sri Mulyani mengkritik revisi pertumbuhan versi WB karena triwulan IV 2017 daya beli masyarakat tumbuh usai lesu di bulan puasa. Meski demikian, revisi WB sejatinya sejalan dengan keadaan triwulan I 2017. Paling tidak, ini mengacu rilis BPS yang menegaskan, perekonomian triwulan I 2017 tumbuh 5,01. Periode lalu tumbuh 4,92 persen.
Realitas ini berpengaruh pada PDB atas dasar harga berlaku 3.227 triliun sebagai konsekuensi laju ekspor yang naik 8,04 persen berkat dukungan ekspor nonmigas yang naik 21,61 persen. Impor sendirijuga naik 5,02 persen.
Pertumbuhan ekspor didukung minyak mentah sawit dan perbaikan harga batu bara. Sedangkan impor lebih untuk pemenuhan stok kebutuhan. Fakta pertumbuhan yang dipengaruhi konsumsi memang rentan jika dikaitkan dengan inflasi. Pelambanan konsumsi rumah tangga triwulan I 2017 terdeteksi dari penjualan ritel yang hanya 4,2 persen dan penutupan sejumlah gerai pemain seperti Matahari dan Ramayana.
Kenaikan tarif dasar listrik terutama dari mayoritas kelompok 900 watt dan pencabutan subsidi 450 watt juga menekan daya beli, meskipun akhirnya telah dilakukan pendataan ulang untuk kepastian alokasi subsidi. September membaik di mana inflasi 0,13 persen. Ini bisa terus membaik seiring keberhasilan pembangunan infrastruktur sejumlah daerah.
Belajar dari kondisi makro, beralasan jika perkembangan semester II 2017 menjadi pondasi memacu pertumbuhan 2017, meski di sisi lain ada juga ancaman ekonomi global. Salah satunya, konflik semenanjung Korea dan proteksi ekonomi AS.
Optimisme juga tecermin dari peran penggerak ekonomi yang selama ini lebih dipengaruhi konsumsi dan investasi. Kini ada dukungan ekspor. Selain itu, komitmen Presiden Jokowi yang terus evaluasi kinerja cabinet juga mengisyaratkan reshuffle jika menteri tidak mampu memenuhi target.
Jadi, ada optimisme target pertumbuhan tahun ini bisa melebihi prediksi WB. Hanya, perlu juga dilihat riak ekonomi-politik pelantikan Anies-Sandi, dan pilkada serentak 2018.
Disandera Korupsi
Sayang, optimisme terhadap laju pertumbuhan ekonomi tersandera korupsi yang marak dilakukan sejumlah kepala daerah. Korupsi di daerah berpengaruh negatif terhadap geliat ekonomi. Bahkan, kritik Mendagri Tjahjo Kumolo tentang masih ada sejumlah daerah tidak fokus membangun sekaligus menjadi cambuk memacu ekonomi.
Ini tentu sesuai dengan semangat otonomi daerah untuk memacu ekonomi domestik dengan berorientasi pada potensi ekonomi lokal yang juga mendukung basis industri kreatif daerah. Optimisme ekonomi pusat akan mengalir ke daerah. Ini termasuk juga pencairan dana desa yang memacu ekonomi dengan mata rantai yang kompleks. Ini bisa mereduksi pengangguran dan kemiskinan.
Anggaran dana desa terus naik dari tahun lalu 47 triliun, kini 60 triliun dari jumlah awal tahun 2015 “ hanay” 20 triliun. Sayang, kenaikan ini digerogoti banyak kasus korupsi.
Kalkulasi optimisme triwulan IV 2017 perlu mencermati kondisi yang sama tahun lalu yang mencapai 5,18 persen. Ini lebih tinggi tahun 2015 yaitu 4,66 persen dan 2014 sebesar 4,96 persen. Terlepas dari faktor makro yang juga menarik dicermati adalah prediksi kondisi ekonomi akhir tahun ini.
Jadi, tidak perlu wait and see, apalagi wait and worry, meski beberapa pekan belakangan dimunculkan kembali isu PKI dan potensi erupsi Gunung Agung di Bali. Sisa waktu tahun ini diyakini terjadi perbaikan ekonomi dan pertumbuhan.
Optimisme ekonomi tetap ada untuk tahun ini. Untuk ke depan perlu mengevaluasi riak konflik vonis Ahok yang rentan memicu perilaku wait and see. Fakta terlihat dari sehari sebelum vonis Ahok pada 8 Mei ternyata kapitalisasi pasar bursa mencapai 6.156 triliun dan pada Selasa 9 Mei belanja net buy investor asing mencapai 679 miliar. Kemudian, Rabu 10 Mei net buy menjadi 753,8 miliar. Meski net buy meningkat, lebih rendah disbanding sehari sebelum vonis, yaitu 8 Mei yang mencapai 1,64 triliun. Maka, ancaman riak konflik Pilkada serentak 2018 harus dicermati.
Secara global optimisme ekonomi dipengaruhi banyak faktor termasuk terpilihnya Presiden Perancis Emanuel Macron dan Presiden Korsel Moon Jae-in. Moon diprediksi bisa mereduksi konflik semenanjung Korea. Faktor lain membaiknya ekonomi AS.
Pertanyaannya, apakah ini didorong kepercayaan pasar sehingga memacu sentimen positif terhadap kinerja triwulan IV 2017? Tentu tidak mudah menjawab karena masih akan dibuktikan dan banyak aspek yang mendukung ekonomi dan pertumbuhan baik lokal, nasional, regional, ataupun internasional.
Siklus pertumbuhan baik optimis ataupun pesimis menyangkut banyak aspek. Identifikasi setiap aspek perlu kajian mendalam agar mampu menjawab sebab di balik pertumbuhan ekonomi. Di satu sisi, respons pasar yang positif terhadap makro ekonomi menjadi momentum memacu optimisme ke depan. Koordinasi Tim Kabinet perlu lebih ditingkatkan agar tidak ada kegaduhan. (Kj)
Penulis Dosen Pascasarjana di Universitas Muhammadiyah Solo
Discussion about this post