UTUSANINDO.COM,(JAKARTA) – FSGI (Federasi Serikat Guru Indonesia) cukup terkejut dengan beredarnya draft Peraturan Presiden yang akan menguatkan Permendikbud 23/2017 tentang Lamanya Hari Sekolah. Mengaitkan lima hari sekolah dengan pengembangan karakter tidak sepatutnya diterima tanpa klarifikasi logis dan sesuai realitas lapangan, karena asumsi para birokrat dan para ahli yang dilibatkan dalam proses lahirnya kebijakan ini belum tentu mewakili karakteristik dan fakta lapangan. Alih-alih menguatkan pendidikan karakter, ternyata Perpres justru akan mengakomodir Permendikbud Lima Hari Sekolah.
“Sepertinya Perpres PPK dibuat untuk mengakomodir Permen Lima Hari Sekolah. Dari sistem tata urutan peraturan perundangan jelas bertentangan. Mengapa Perpres justru mengikuti Permen? Mengapa Permen sebagai salah satu aturan implementasi dari Perpresnya dihadirkan terlebih dahulu? Ibarat membangun rumah tanpa ada pondasi tanpa ada dinding, kita memasang atap. Hal ini berpotensi menyimpang dari perumusan aturan perundangan dari yang standar,” ujar Fahriza Marta Tanjung, Wakil Sekjen FSGI dalam Press realise tertulis kepada redaksi Utusanindo.com, Senin,(14/8/2017).
Proses Ujicoba Minim
Pernyataan resmi yang mengaitkan lima hari sekolah dengan pengembangan karakter tidak sepatutnya diterima tanpa klarifikasi logis dan sesuai realitas lapangan, karena asumsi para birokrat dan para ahli yang dilibatkan dalam proses lahirnya kebijakan ini belum tentu mewakili karakteristik dan fakta lapangan. Alih-alih menguatkan pendidikan karakter, ternyata Permendikbudnya justru mengatur jam belajar anak disesuaikan dengan beban jam kerja guru.
Anak berpotensi menjadi korban kebutuhan orang dewasa memenuhi jam kerjanya. “Proses ujicoba, yang menurut Mendikbud sudah dilakukan di 500 – 1500 sekolah ternyata tidak dapat diuraikan secara sistematik hasil refleksinya, sehingga public pun dibuat tak paham urgensinya kebijakan ini harus diterapkan secara terburu-buru,” ujar Mansur, Pengurus Serikat Guru Indonesia Mataram, NTB.
Ujicoba sebelum penerapan seharusnya menjadi landasan kebijakan dibuat, karena data lapangan dan praktik baik di semua jenjang pendidikan dan di semua jenis sekolah (negeri maupun swasta, miskin maupun kaya) terwakili, sehingga akan menjadi contoh dalam implementasi kebijakan. Ini akan menjadi kunci keberhasilan dalam implementasi, namun jika uji coba secara akuntabilitas juga tidak dapat dipertaggungjawaban kesahihan dan validitasnya kepada public, maka kebijakan ini tak akan merubah apapun di pendidikan kita, hanya akan menyiksa anak-anak Indonesia karena berada begitu lama di sekolah.
Berpotensi Melanggar Peraturan Lainnya
FSGI mempertanyakan, mengapa harus memaksakan lima hari sekolah. Apakah kalau tidak dilaksanakan Lima Hari Sekolah, maka PPK (Penguatan Pendidikan Karakter) tidak bisa diimplementasikan, atau kalau tidak dilaksanakan Lima Hari Sekolah, apakah tujuan dari PPK tidak tercapai?
FSGI mendukung Pemerintahan Jokowi-JK dalam penguatan pendidikan karakter karena didasari niat baik demi meningkatkan kualitas pendidikan dan memenuhi janji Nawacita Presiden, namun public sulit memahami relevansi antara lamanya belajar dengan penguatan pendidikan karakter.
Berkaitan dengan hal tersebut, maka FSGI menolak penyamarataan 40 jam belajar seminggu karena baik Permendikbud maupun draft Perpres tersebut BERPOTENSI :
Pertama, Kebijakan sekolah 40 jam per minggu bertentangan dengan berbagai peraturan perundang-undangan, antara lain UU Sistem Pendidikan Nasional, UU Perlindungan Anak, UU Guru dan Dosen, UU Pemerintahan Daerah, dan UU Hak Asasi Manusia.
Sejak diterbitkannya UU Sistem Pendidikan Nasional, sekolah di berbagai daerah di Indonesia memiliki otonomi penuh untuk mengelola system pendidikan sesuai dengan kekhasan daerah masing-masing, lebih terutama terhadap kebutuhan tumbuh kembang anak. Kebijakan sekolah 40 jam bertentangan dengan semangat otonomi daerah dan otonomi pendidikan bagi sekolah-sekolah.
Kedua, berpotensi bertentangan dengan berbagai peraturan perundang-undangan. Dalam Pasal 13 UU No. 12/2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan, mengatur bahwa materi muatan Perpres berisi materi yang diperintahkan oleh Undang-Undang, materi untuk melaksanakan Peraturan Pemerintah, atau materi untuk melaksanakan penyelenggaraan kekuasaan pemerintahan.
Sementara, penjelasan Pasal 8 ayat (1) UU Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan menyatakan bahwa materi muatan Permendikbud adalah dalam rangka penyelenggaraan urusan tertentu dalam pemerintahan.
Dalam konteks penyamarataan jam belajar, sesuai dengan berbagai ketentuan di atas, Permendikbud dan Perpres diperbolehkan untuk mengatur demikian hanya apabila hal tersebut memenuhi syarat materi muatan dari masing-masing bentuk peraturan. Padahal, pada bagian sebelumnya, telah diuraikan bahwa batas-batas wewenang pemerintah pusat, baik Presiden ataupun Menteri di bidang penyelenggaraan pendidikan hanyalah menetapkan kerangka dasar dan struktur kurikulum. Sementara, pengelolaan yang lebih teknis merupakan mutlak wewenang sekolah dan pemerintah daerah.
Ketiga, ketentuan berapa jam sehari di sekolah dan berapa hari bersekolah itu urusan teknis yang menjadi domain sekolah (lihat : UU No 20/20013 tentang Sisdiknas) dan kewenangan Pemprov dan Kab/Kota (UU No. 23/2014 tentang Otoda), bukan urusan menteri atau Presiden.
Kempat, berpotensi melanggar UU Perlindungan Anak. Penyamarataan jam belajar untuk membiarkan anak menetap lebih lama di sekolah melanggar hak orang tua atau wali untuk memiliki waktu yang seimbang bertemu dengan anaknya sendiri atau bahkan waktu interaksi anak di luar jam belajar dengan teman sebaya. Padahal, sesuai dengan ketentuan Pasal 23 UU Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak, pemerintah wajib menjamin perlindungan, pemeliharaan, dan kesejahteraan anak dengan memerhatikan hak dan kewajiban orang tua, wali, atau orang lain yang secara hukum bertanggung jawab terhadap anak.
Dalam perpres pemerintah hanya mengusahakan “waktu” saja untuk orang tua dengan lima hari sekolah. Pada hal tidak juga semua orang tua yang bekerja lima hari, apalagi orang tua yang bekerja pada sektor informal.
Kelima, Kebijakan penyamarataan jam belajar bias orang tua atau wali yang bekerja di sektor formal yang memiliki jam kerja tetap dan terkonsentrasi di kota-kota besar. Sementara, terdapat orang tua atau wali yang bekerja di sektor informal yang tidak memiliki jam kerja tetap ataupun orang tua atau wali yang memilih untuk bekerja di rumah sebagai ibu rumah tangga. Kebijakan tersebut juga tidak memerhatikan kehidupan anakanak yang lahir di lokasi dengan konteks masyarakat yang khusus, misalnya masyarakat agraris dan pesisir, yang anak-anak akan membantu orang tua mereka untuk berladang ataupun melaut selepas jam sekolah.
Keenam, Implementasi PPK justru dipersempit dengan kegiatan ekstrakurikuler yang membuat jam sekolah harus ditambah. Sementara bagaimana penerapan PPK itu dalam kegiatan intrakurikuler dan kokurikuler tidak muncul sama sekali. Bahkan dalam sosialisasi kurikulum 2013 edisi revisi tidak pernah disinggung sama sekali. Padahal kurikulum 2013 edisi revisi ini jadi salah satu implementasi dari PPK.
Ketika PPK sekarang di klaim sebagai “obat baru no 1” serta di paketkan dengan kebijakan 5 hari sekolah dan akan dipaksakan melalui perpres, maka akan membawa kita ke perhitungan untung rugi dan kecurigaan adanya sebuah proyek.
Ketujuh, Kesan terburu-buru semakin jelas manakala banyak pihak yang menolak dan merasa tidak diajak bicara. Penjelasan tentang implementasi PPK dalam 5 hari sekolah juga datang terlambat ketika kegaduhan sudah meluas. Bahkan penjelasan yang idealis dan teoritis semakin memicu kritikan, dan praktis tidak mengakomidir Madrasah Diniyah (Madin).
“Kesan panik tim PPK juga tidak bisa ditepis manakala rancangan perpres memposisikan Madin sebagai sebuah Ekstrakurikuler. Ini harus dihentikan karena arena bisa jadi nanti akan muncul istilah Madin sistem Block, seperti ketika Pramuka wajib tidak dapat dilaksanakan kemudian dimunculkan istilah ekskul pramuka system block yang dapat dilakukan hanya seminggu di awal tahun pelajaran,” ujar Satriwan Salim, Pengurus SEGI Jakarta.
Kedelapan, Tanggapan penggiat PPK yang menjadikan Jakarta sebagai contoh penerapan 5 hari sekolah yang berhasil adalah pandangan mem-bonsai-indonesia yang sangat luas dan beragam. Dan jika karena itu kemudian mendomplengkan PPK dalam 5 hari sekolah adalah pandangan yang men-simpel-kan pendidikan yang panjang dan berkelanjutan.
Kesembilan, Harus diakui keberadaan Madin di sebagian besar wilayah Indonesia telah menyumbang cukup banyak karakter bangsa. Dan jika tim PPK mempertanyakan data Madin mana yang akan terganggu dengan 5 hari sekolah, lebih baik mencari data keberhasilan PPK dengan 5 hari sekolah, jika tidak maka kesan PPK dan 5 hari sekolah ini akan tetap menghapus keberadaan Madin.
**
Discussion about this post