OLEH: DEREK MANANGKA
UTUSANINDO.COM,(JAKARTA )- SEORANG sahabat menawarkan undangan ke Hong Kong. Isinya menjadi salah satu pembicara di sebuah pertemuan para CEO dari berbagai perusahaan asing yang semuanya beroperasi di Indonesia.
Yang harus saya sampaikan di forum, bahwa sekalipun Indonesia baru mengalami Kerusuhan Rasial Mei 1998 disusul dengan pergantian pemerintahan – dari Soeharto ke BJ Habibie, tetapi Indonesia sebagai tujuan investasi, tetap aman.
Saya dipilih selaku nara sumber dengan alasan, sebagai wartawan – saat itu menjadi jurnalis harian “Media Indonesia” Jakarta – dianggap memiliki pengetahuan dan pemahaman yang memadai tentang situasi Indonesia.
Dalam menyampaikan pembahasan, tidak perlu menggunakan materi tertulis. Cukup berbicara secara spontan untuk memberi kesan bahwa saya benar-benar menguasai materi yang saya bahas.
Tanpa berpikir panjang, saya langsung menyatakan bersedia. Sebab acara utamanya sangat singkat, sementara yang berleha-leha lebih panjang. Ada acara “sight seeing” dengan kapal pesiar mengelilingi pulau-pulau kecil yang menjadi kesatuan dari Hong Kong dan main golf. Enak tenan.
Tiket pesawat bisnis kelas Jakarta – Hongkong pp, penginapan lokal, makan dan transportasi, ditanggung pengundang. Tentu saja ada uang sakunya.
Tanpa ragu saya mejawab bersedia, sebab materi yang harus disampaikan bukan soal bagaimana mengkritisi kebijakan pemerintah sendiri.Sesuatu yang menjadi beban jika hal seperti itu yang diminta oleh penyelenggara.
Selain fasilitas di atas, perjalanan ke luar negeri seperti itu di tahun 1998 – khususnya pasca kerusuhan Mei 1998, menjadi sesuatu yang sangat mahal.
Maklum saat itu, Indonesia menjadi salah satu negara di Asia yang paling parah keadaan krisisnya.
Nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika sekitar Rp. 15.000,-. Sebelumnya sempat mencapai Rp. 18.000,-. Sebuah lonjakan yang luar biasa, terutama bila dibanding kurs pada Juni 1997, yang masih di sekitar Rp. 1.500,- per satu dolar Amerika.
Membuat “harga diri” dan “mata uang” Indonesia, sangat rendah.
Saking tertariknya atas undangan itu, saya tidak sempat bertanya lebih detil ikhwal siapa penyelenggaranya. Selain itu, sahabat yang menyampaikan undangan ini, sudah lama saya kenal. Ayahnya seorang jenderal purnawirawan bintang dua.
Sebagai tambahan, saat ayahnya menjabat sebagai Duta Besar di sebuah negara Eropa, di tahun 1982, saya pernah dijamu oleh keluarga diplomat tersebut di Wisma Indonesia. Saya juga dihadiahi sebuah asbak rokok yang terbuat dari kristal murni dari Hongaria.
Jarak antara tahun 1982 dengan 1998, memang cukup jauh. Tetapi di tengah waktu tersebut, saya sering main golf bersama dengan sahabat ini. Sehingga persahabatan di golf, menambah dan memperbesar saling rasa percaya.
Sebelum ditempatkan di pos Duta Besar, ayahnya menduduki beberapa pos penting di berbagai lembaga militer di Indonesia.
Ini semua menjadi modal besar bagi saya menerima undangan plesiran ke Hong Kong tersebut, dengan tanpa berpikir panjang.
Tiba di bandara Hongkong, sudah ada penjemput yang langsung mengantar ke hotel bintang lima di kawasan Tsim Tsa Tsui, Kowloon.
Penjemputan ala VIP ini, membuat saya tiba-tiba merasa sebagai orang penting. Kalau di Jakarta, saya harus memperkenalkan diri dengan kartu nama yang dicetak rapih – agar diakui sebagai orang yang bisa dipentingkan, kali ini di luar negeri saya langsung diperlakukan sebagai orang penting dari Indonesia.
Semakin saya merasa berterima kasih dan berhutang budi kepada sahabatku yang mengundang ke Hong Kong.
Pada malam harinya, digelar makan malam bersama dengan sejumlah panelis dan asosiates dari perusahaan penyelenggara forum tersebut.
Pesertanya tidak banyak, tidak lebih dari 20 orang. Yang saya ingat ada perwakilan dari Caltex, Coca Cola, dan produsen ban mobil dari Prancis. Juga ada wartawan BBC dan The Economist, keduanya dari Inggeris.
Di sini saya baru agak terkejut, sebab forum besok pagi dimana saya akan tampil sebagai pembicara, bukanlah perusahaan besar. Melainkan perusahaan kecil dan baru berusia kurang dari setahun, tetapi memiliki client perusahaan berskala besar dan global.
Makan malamnya sangat “casual”. Tidak ada pidato-pidatoan. Seusai makan malam, di saat kami masuk ke sesi “wine session”, satu persatu, beberapa pentolan eksekutif dari perusaahaan yang menjadi penyelenggara pertemuan itu oleh CEO-nya diperkenalkan kepada saya.
Yang diperkenalkan bukan jabatan resmi di perusahaan tersebut. Melainkan, latar belakang profesi mereka sebelumnya.
Mengejutkan. Sebab semuanya bekas agen mata-mata dari negara-negara maju dan saat itu sudah berkarir sendiri.
Mulai dari agen CIA (Amerika Serikat), KGB (Uni Sovyet), Mossad (Israel) dan SIS – Secret Intellegence Sevices atau lebih dikenal dengan sebutan M16 (Inggeris).
Perusahaan ini – maaf terpaksa tidak saya sebut namanya – secara bisnis, bergerak di bidang pengamanan dan keamanan atau “Security Provider”.
Perusahan ini didirikan oleh warga negara Inggeris yang cukup lama berkarir di M16 dan terakhir ditugaskan di Hong Kong.
Ketika 1 Juli 1997, Hong Kong dikembalikan oleh Inggeris kepada China (RRC), pengembalian ini dilihatnya sebagai peluang. Banyak perusahaaan besar dan orang kaya membutuhkan bantuan keamanan. Dan keamanan itu, berupa satu paket termasuk info-info konfidensial yang berkaitan dengan keamanan.
Belum setahun berdiri, terjadi kerusuhan rasial di Indonesia. Banyak orang kaya dan perusahaan besar yang memerlukan bantuan keamanan dan pengamanan. Dengan segera, perusahaan tersebut mendirikan cabangnya di Jakarta.
Di Jakarta, perusahaan ini memperoleh banyak “client”. Baik perorangan maupun institusi. Para “client” membayar perusahaan ini dengan biaya yang cukup mahal.
Sebab pekerjaan yang dilakukan perusahaan ini antara lain melakukan evakuasi dari tempat yang sedang dilanda kerusuhan atau kekacauan.
Evakuasi dilakukan oleh satu tim terlatih, lengkap dengan senjata pengaman. Kadang harus menggunakan helikopter. Dengan heli, pihak “client” yang kadang terdiri dari satu keluarga diangkut ke Bandara Soekarno Hatta, untuk diterbangkan dengan pesawat jet khusus. Rata-rata tujuannya, negara tetangga terdekat Singapura.
Belakangan baru saya sadar, perusahaan ini juga yang ikut menjadi penyebar rumor hura-hura. Penyebaran dilakukan melalui pamflet atau sms. Begitu efektifnnya pamflet dan sms tersebut di tahun 1998.
Sebab dalam waktu singkat sejumlah panggilan baik dari “client” lama maupun yang baru ke nomor telepon kantor perwakilan perusahaan itu di bilangan Kebayoran Baru, membanjir.
Sejalan dengan redahnya situasi politik di Indonesia, pola operasi bisnisnya di Indonesia pun berubah. Perusahaan ini dipercaya oleh produsen mobil tertentu untuk menawarkan kepada perorangan yang ingin memiliki anti-peluru. Tes, juga dilakukan di Jakarta.
Satu hal yang pasti, mungkin tidak banyak yang sadar atau mengetahui, Pasca Kerusuhan Mei 1998, situasi politik tidak langsung meredah. Pertarungan politik di elit tingkat atas, tetap ada dan memanas. Saya menduga hal itu tak lain sebagai ekses dari adanya keterlibatan asing.
Orang asing yang saya maksud di sini, pihak intelejens yang saya sebutkan di atas. Bukan hal yang aneh, jika para bekas agen rahasia yang diperkenalkan kepada saya di resepsi makan malam di Hong Kong itu, ikut ber berperan dan beroperasi di Indonesia.
Negaraku, negara anda, negara kita menjadi pasar binis intelejens.
Sayapun baru sadar, mengapa di Hong Kong, saya diminta untuk berbicara dengan menekankan situasi Indonesia aman bagi investor asing sekalipun baru terjadi penggantian pemerintahan.
Mungkin dimaksudkan supaya perusahaan-perusahaan itu tetap menjadikan informasi dari saya sebagai pegangan, agar para “client” tidak meninggalkan Indonesia. Tetapi setiap saat mereka diganggu oleh pamflet dan sms, mereka akan minta pengamanan bantuan keamanan dari “Security Provider”.
Dan sebagai bekas agen mata-mata, mereka terlatih menciptakan sebuah situasi sesuai yang mereka kehendaki.
Sehingga pada sisi lain, saya beranggapan Kerusuhan Rasial 1998 dan kaitannya bisa juga dilihat sebagai salah satu proyek bisnis intelejens.
Penulis adalah wartawan senior
Discussion about this post