UTUSANINDO.COM,(PADANG)- Puluhan mahasiswa yang menamakan diri dari Aliansi Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM) se-Sumbar, meminta agar DPRD Sumbar mendesak penuntasan kasus dugaan korupsi Surat Pertanggungjawaban (SPj) fiktif senilai Rp43 miliar di lingkungan Pemprov Sumbar, termasuk mengembalikan proses kasusnya ditangani Kejati Sumbar yang berunjuk rasa di DPRD Sumbar, Rabu (12/4).
Koordinator aksi BEM se-Sumbar Nurul Fikri mengatakan, Indonesia saat ini sedang berada dalam keadaan tidak baik. Sejumlah kasus penyelewengan anggaran terjadi. Salah satunya adalah persoalan SPJ fiktif. Dalam kasus ini, puluhan miliar dana rakyat diselewengkan. “Jangan lupakan kasus ini. DPRD Sumbar harus ikut pula mendesak Polri untuk segera menuntaskan perkaranya. Jangan sampai kasusnya masuk peti es,” ungkap Nurul.
Meruyaknya kasus SPj fiktif diawali hasil pemeriksaan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) RI perwakilan Sumbar yang menemukan dugaan kerugian negara sekitar Rp43 miliar dalam kegiatan Dinas PUPR yang dulu bernama Dinas Prasjaltarkim. Pola yang dipakai dalam menggelapkan dana adalah dengan cara membuat SPj fiktif. Kegiatan itu yakninya, pembebasan tanah untuk pembangunan jalur dua Jalan Samudera, Kota Padang dan pembangunan flyover Duku, Padang Pariaman.
Dalam kasus itu, sebut Nurul, ditemukan adanya pembayaran ganti rugi lahan yang berlebih dan tidak sesuai dengan semestinya. Ganti rugi lahan harus dibayarkan untuk sepuluh orang masyarakat, namun dalam SPj yang dibuat oleh oknum YSN, jumlahnya lebih dari sepuluh orang.
“Sementara setelah ada temuan oleh BPK, Pemprov Sumbar mengarahkan pelaku kasus adalah tunggal. Padahal melihat posisi kasus dengan pertanggungjawaban adalah banyak pihak, tersangka kasus ini harusnya tidak satu orang,” ujar Nurul.
Mahasiswa tak menampik pihak YSN sebenarnya memang telah diminta melakukan klarifikasi dan mengembalikan kerugian negara, namun mereka menyayangkan sampai batas pengembalian yang ditetapkan, yakni 28 Januari pihak terkait tak mampu mengembalikan kerugian negara sebesar Rp43 miliar tadi.
“Semuanya harus segera dituntaskan. Kami yakini kasus ini tidak hanya dilakukan satu orang, tapi banyak yang terlibat. Penyidik mesti mengusutnya hingga tuntas,” kata Nurul dalam orasinya.
Lebih lanjut, dengan adanya berbagai polemik tadi, menurut Nurul, BEM se-Sumbar menyatakan beberapa sikap. Pertama, meminta kepada Kapolri agar mengembalikan kasus SPj fiktif ke Kejati Sumbar. “Agar semuanya transparan dan bisa dikawal, proses penyidikannya harus dikembalikan ke Kejati Sumbar. Sekarang, penanganan kasus SPj fiktif tak terkawal karena ditangani Bareskrim,” paparnya.
Kedatangan Aliansi BEM se-Sumbar ke gedung DPRD diterima langsung oleh Ketua DPRD Sumbar, Hendra Irwan Rahim dengan didampingi Ketua Komisi IV, M Nurnas. Hendra Irwan Rahim mengatakan, dari semua tuntutan yang disampaikan mahasiswa, sebagian ada yang merupakan kewenangan pusat, dan ada yang merupakan kewenangan provinsi.
Untuk persoalan SPJ fiktif, menurut Hendra, ia sangat setuju masalah itu diusut tuntas. Sebab persoalan terjadi di Provinsi Sumbar. Anggaran yang diduga diselewengkan juga tidaklah sedikit. Namun demikian, sebut Hendra, di sini DPRD tak bisa ikut campur karena kasus telah diserahkan ke Bareskrim.
“Saat dilimpahkan ke Bareskrim, otomatis itu sudah masuk ke ranah hukum, prosesnya harus dihormati. Penegak hukum yang berhak melakukan penyelidikan,” tegas Hendra.
Ketua Komisi IV DPRD Sumbar, M Nurnas menambahkan, sebagai perwakilan dari masyarakat masalah dugaan penyelewengan dana di Dinas PUPR Provinsi Sumbar menjadi perhatian DPRD.
“Kita sudah melaksanakan rapat dengan Pemprov untuk masalah ini. Bahkan kami di DPRD juga berencana membentuk Panitia Khusus (Pansus) terkait sistem perencanaan kegiatan di lingkungan Pemprov.
Tapi karena proses hukum masih sedang berjalan, kita tunggu itu dulu,” tegas M Nurnas. Usai aksi yang dilakukan mahasiswa, Ketua DPRD Sumbar, Hendra Irwan Rahim menandatangi kesepakatan yang menandakan persetujuan DPRD atas sejumlah tuntutan mahasiswa yang ingin disampaikan ke pusat.
Tuntut Kejelasan
Tidak jelasnya perkembangan pengusutan kasus Surat Pertanggungjawaban (SPj) Fiktif Dinas PUPR Sumbar yang ditangani oleh Bareskrim Polri, sudah ditebak sejak jauh-jauh hari. Padahal, dalam Peraturan Kapolri (Perkap) tentang pengawasan dan pengendalian penanganan perkara pidana, polisi punya tanggung jawab melakukan perkembangan proses hukum secara transparan.
Hal itu disampaikan Koordinator Lembaga Antikorupsi Integritas Arief Paderi, saat menyikapi aksi yang dilakukan sejumlah mahasiswa di depan Kantor DPRD Sumbar, yang salah satunya bertujuan menuntut kejelasan proses penanganan kasus SPj Fiktif yang ditangani Bareskrim. “Salah satu kelemahan kasus di daerah yang dibawa ke pusat, terutama ke Mabes Polri atau Kejaksaan Agung (Kejagung), adalah terhambatnya fungsi kontrol masyarakat karena tidak adanya informasi perkembangan yang diberikan penegak hukum tersebut,” kata Arief.
Bagaimana pun, sebutnya, masyarakat Sumbar secara umum berharap agar Mabes transparan dalam menangani kasus, sehingga tidak terkesan kasus yang dibawa ke pusat merupakan upaya pemangku kepentingan untuk menghilangkan kasus tersebut.
“Dari semula sudah jelas, kasus daerah diambil lembaga vertikal adalah suatu yang aneh. Polisi punya jajaran di daerah, begitupun kejaksaan, tapi mengapa sampai dibawa ke pusat,” kata Arief lagi.
Saat ini, Integritas sendiri masih berupaya melakukan konsolidasi dengan beberapa lembaga swadaya masyarakat (LSM) di Jakarta, untuk diajak melek dan ikut memperhatikan kasus SPj fiktif yang telah menetapkan seorang tersangka berinisial YSN tersebut. “Kami masih berusaha menjajakinya dengan LSM di pusat, kalau Integritas langsung agak kesulitan karena di pusat itu,” tukasnya.
Sebelumnya, Kadiv Humas Mabes Polri Irjen Boy Rafli Amar menyebut, penyidik Tipidkor Bareskrim Mabes Polri terus mendalami kasus dugaan korupsi SPj fiktif.“Kasusnya terus dikembangkan. Sejumlah saksi sudah diperiksa secara maraton oleh penyidik. Jumlahnya banyak, saya tidak hapal satu per satu. Nan pasti, pengembangan kasus mengalami kemajuan,” terang Boy Rafli.
Boy Rafli menyebut, selama tiga bulan proses penyidikan, tersangka yang ditetapkan baru satu orang, yakni Yusafni Ajo. “Belum ada penambahan tersangka. Sejauh ini, baru satu yang ditetapkan sebagai tersangka,” ungkap Boy.
Ketika ditanya, apakah ada kemungkinan tersangka lain, Boy belum bisa menjawabnya. Menurut mantan Kapoltabes Padang itu, penambahan tersangka bergantung pada proses penyidikan. Jika nantinya penyidik mendapatkan data yang akurat terkait keterlibatan pihak lain, bukan tak mungkin tersangka akan bertambah. “Sekarang biarkan dulu penyidik bekerja secara maksimal,” papar Boy Rafli.
Dalam berkas yang dikeluarkan Bareskrim Polri, dan diterima Haluan beberapa waktu yang lalu, Yusafni Ajo dan kawan-kawan, ditetapkan sebagai tersangka. Surat bernomor: S.pgl/463/III/2017/Tipidkor sebenarnya merupakan surat pemanggilan terhadap Indra Jaya, yang ditulis menjabat sebagai Kepala Bidang UPTD PIP2B, Dinas Pekerjaan Umum dan Penataan Ruang (PUPR) Sumbar.
Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) RI Perwakilan Sumbar jauh-jauh hari menyebutkan total kerugian negara akibat Surat Pertanggungjawaban (SPj) fiktif yang dilakukan YSN, Pejabat Pelaksana Teknis Kegiatan (PPTK) dari Dinas Prasarana Jalan Tata Ruang dan Pemukiman Sumbar (kini, Dinas Pekerjaan Umum dan Penataan Ruang/PUPR), diperkirakan akan terus bertambah.
Bahkan jumlahnya lebih besar dari yang tercatat saat ini di angka Rp43 miliar. Setelah BPK turun melakukan cek ke lapangan dan ditemukan fakta terkait pembebasan lahan ini, masyarakat yang lahannya terkena dampak pembangunan hanya menerima satu kali pembayaran ganti ruginya. Anehnya, untuk tahun berikutnya tetap dianggarkan tapi tidak dibayarkan lagi. (haluan.com)
Discussion about this post