UTUSANINDO.COM, JAKARTA – Anggota Komisi II DPR RI Guspardi Gaus mengaku tekejut dan prihatin mendengar kabar dugaan penyelewengan donasi umat yang dilakukan lembaga filantropi Aksi Cepat Tanggap (ACT).
Jika benar ada tindak penyelewengan yang dilakukan oleh petinggi ACT terhadap dana yang mereka himpun dari masyarakat, maka hal ini jelas-jelas menyakiti masyarakat dan mencoreng nama dari lembaga-lembaga yang menghimpun dana masyarakat.
Merujuk laporan investigasi Majalah Tempo edisi 2 Juli 2022, lembaga ACT di kabarkan limbung karena ditenggarai adanya dugaan penyelewengan dana umat.
Donasi umat yang bertujuan untuk membantu kegiatan kemanusiaan, keagamaan, korban bencana alam, kelompok marginal dan anak yatim diduga dipakai untuk menumpuk kekayaan dan keperluan pribadi serta gaya hedonisme pendiri dan pengelola ACT,ujar Guspardi saat dimintai tanggapannya oleh wartawan, Selasa (5/7).
Dalam pemberitaan investigasi Majalah Tempo dijelaskan bahwa salah satu pengeluaran tertinggi ACT justru digunakan untuk menggaji pendiri dan mantan Presiden ACT yang jumlahnya mencapai Rp250 juta perbulan, kemudian pejabat senior vice president Rp200 juta, vice president Rp80 juta serta direktur eksekutif mendapat gaji Rp50 juta.
Selain itu, para petinggi yayasan ini juga mendapat fasilitas yang mewah berupa kendaraan dinas seperti Toyota Alphard, Honda CR-V hingga Mitsubishi Pajero Sport.
Tak hanya gaji yang tinggi dan fasilitas yang mewah, mantan Presiden ACT bahkan juga menggunakan dana ACT untuk membayar uang muka rumah hingga pembelian furnitur, tutur Politisi PAN ini.
Legislator asal Sumatera Barat itu menambahkan selain diduga adanya penyelewengan dana, ada soal kampanye berlebihan yang dilakukan ACT. Salah satunya adalah kasus donasi untuk pembangunan Musala di Australia. ACT dalam kampanyenya menggunakan narasi, “Surau Pertama di Sydney”.
Padahal sudah ada ratusan tempat ibadah umat Islam di sana. Sejumlah pendiri komunitas Surau Sydney Australia pun menyatakan dari dana Rp 3,018 miliar yang terkumpul, mereka hanya mendapatkan Rp 2,311 miliar. Artinya, ada potongan sekitar 23 persen dari total donasi.
Padahal jika mengacu pada Peraturan Pemerintah Nomor 10 Tahun 1980 tentang Pelaksanaan Pengumpulan Sumbangan, potongan maksimal untuk donasi sosial hanya 10 persen. Sedangkan zakat, infak, dan sedekah maksimal 12,5 persen.
Oleh karena itu, diminta kepada pihak yang berwenang memanggil para pengelola dan mengusut secara tuntas dugaan penyelewengan dana dan lain sebagainya yang terjadi di Lembaga ACT ini.
Pihak Kepolisian perlu melakukan langkah-langkah hukum untuk membuka tabir dugaan penyelewengan dana bantuan bencana yang dikumpulkan dari masyarakat oleh ACT.
“Proses hukum ini penting agar menjadi pelajaran dan memberikan efek jera bagi lembaga-lembaga filantropi lainnya sehingga tidak melakukan tindakan kejahatan serupa dan kasus ACT ini akan membuka fenomena gunung es adanya lembaga-lembaga yang mengatasnamakan kemanusiaan bahkan keagamaan untuk menguras donasi umat,” pungkas anggota Baleg DPR RI tersebut.
Sebelumnya diberitakan laporan investigasi majalah Tempo sontak menuai respons netizen yang mengecam adanya dugaan penyelewengan dana umat yang dilakukan oleh ACT.
Bentuk kekecewaan masyarakat ditandai dengan munculnya tagar di medsis dan viral #AksiCepatTilep hingga #JanganPercayaACT.
Tagar itu muncul tak lama setelah Majalah Tempo mengeluarkan laporan utama berjudul ‘Kantong Bocor Dana Umat’.
Laporan tersebut membahas soal isu gaji petinggi ACT yang mencapai puluhan hingga ratusan juta rupiah.
Dalam laporan tersebut diketahui bahwa petinggi ACT disebut menerima sejumlah fasilitas mewah dan memotong uang donasi.
Discussion about this post