UTUSANINDO.COM, YOGYAKARTA, —Di samping mencerdaskan dan memajukan kesejahteraan bangsa, lembaga penyiaran haruslah dapat membentuk karakter dan budaya bangsa melalui konten-konten siaran yang edukatif. Dan agar hal itu dapat terlaksana dengan baik, diperlukan kontrol dari civil society, khususnya perguruan tinggi, dalam rangka mengingatkan dan memberikan masukan terhadap siaran-siaran yang dinilai bisa merusak kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara.
Hal itu disampaikan Ketua Komisi I DPR RI Meutya Hafid saat menjadi keynote speaker di acara Diseminasi Indeks Siaran Televisi yang dilaksanakan Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) bekerjasama dengan UIN Sunan Kalijaga yang membahas “Potret Siaran Religi di Indonesia”, Minggu (22/5), bertempat di Aula Fakultas Ilmu Sosial dan Humaniora (Fishum) UIN Sunan Kalijaga, Yogyakarta.
Adapun diseminasi ini mengawali rangkaian acara Konferensi Penyiaran Indonesia tahun 2022 yang diselenggarakan dari tanggal 22-24 Mei 2022 di Yogyakarta, dengan tema besar “Mewujudkan Media Komunikasi dan Penyiaran yang Berbasis Etika, Moral dan Kemanusiaan Menuju Peradaban Baru.”
Mengenai siaran religi, menurut Meutya tidak bisa hanya sekedar penekanan kepada regulasi semata. Masyarakat harus diberikan informasi dan pemahaman yang komprehensif sebagai penyeimbang dari siaran-siaran religi yang bisa merusak tatanan yang ada.
“Akibat derasnya digitalitasi di dunia penyiaran, maka perlu ada penyeimbang siaran religi yang berkualitas dari lembaga penyiaran mainstream terhadap banyaknya siaran-siaran religi yang diproduksi oleh pribadi-pribadi yang saat ini sulit untuk dikontrol,” ujarnya.
Meutya Hafid yang pernah 10 tahun menjadi wartawan di Metro TV ini mengapresiasi KPI melakukan survei indeks siaran berkualitas dengan melibatkan 12 PTN di Indonesia, dan terus memberikan literasi-literasi kepada masyarakat tentang siaran televisi yang berkualitas tadi.
Senada dengan Meutya, khususnya dalam siaran religi, Ketua Masyarakat Peduli Penyiaran (Mapepa), Isa Kurniawan yang ikut menjadi narasumber dalam acara tersebut, mengapresiasi KPI yang berhasil melakukan pembinaan terhadap lembaga penyiaran, sehingga hampir tidak ditemukan masalah siaran religi yang terlalu menghebohkan masyarakat.
“Ada sih masalah. Tapi ini lebih kepada terpelesetnya penceramah dalam penyampaiannya. Misalnya yang menyerempet masalah seksualitas tempo hari di salah satu stasiun tivi nasional,” ujar Isa.
Tetapi yang lebih penting, sebut Isa lagi, bagaimana lembaga penyiaran menyiapkan SDM yang mumpuni pemahaman keagamaannya. Harus selektif, sehingganya konten dan sosok penceramah yang akan ditampilkan tidak menimbulkan riak.
Lembaga penyiaran harus membangun komunikasi dengan lembaga terkait keagamaan, seperti Kemenag, MUI, dan juga lembaga-lembaga negara lainnya, di antaranya KPI dan BNPT. “Jangan sampai isi ceramah menyebarkan paham radikalisme dan terorisme, serta paham-paham yang telah dilarang oleh negara,” tukasnya.
Kemudian, sebutnya, UU No 32 Tahun 2002 tentang Penyiaran perlu secepatnya direvisi karena umurnya sudah 20 tahun, dan dengan perkembangan digitalisasi penyiaran yang begitu cepat, maka sudah banyak regulasi yang harus diubah. Dan juga menurutnya, perlu penguatan terhadap KPI secara kelembagaan dan fungsinya sehingga bisa menjangkau siaran-siaran yang selama ini bebas-bebas saja.
Turut menjadi narasumber lainnya, Mochamad Sodik (Dekan Fishum UIN Sunan Kalijaga), Bono Setyo (Pengendali Lapangan Riset KPI) dan Andi Chairi (Direktur Produksi Trans 7), serta dimoderatori Komisioner KPID DIY Fabriyanto.
Acara yang dibuka oleh Rektor UIN Sunan Kalijaga Prof Al Makin itu turut dihadiri Komisioner KPI Pusat Yuliandre Darwis, Nuning Rodiyah, Mulyo Hadi Purnomo, dan Sekretaris KPI Pusat Umri, serta ratusan dosen dan mahasiswa yang mengikuti secara langsung maupun lewat zoom meeting.
(Rel/kpi)
Discussion about this post