UTUSANINDO.COM, Padang – Anggota Komisi VI DPR RI, Nevi Zuairina, pada Serial diskusi “BISIK (Bincang-Bincang Seputar Isu Keperempuanan)” diselenggarakan KOHATI Cabang Padang, dengan Tema Menilik Pengesahan UU TPKS: Kajian Sosiologis dan Alasan Dibalik Penolakan PKS menjabarkan berbagai hal sebagai penjelasan.
Politisi PKS ini mengawali, sesuai arahan Fraksinya, bahwa persetujuan DPR terhadap RUU Tindak Pidana Kekerasan Seksual (TPKS) untuk menjadi undang-undang, harus diikuti dengan pengesahan RUU KUHP.
Menurutnya, RUU KUHP mesti dibahas dan disahkan segera sehingga upaya pencegahan dan penindakan semua bentuk tindak pidana kesusilaan seperti perzinahan dan seks menyimpang yang mengkahwatirkan dan mengancam masyarakat dapat dilakukan secara efektif.
“Negara kita mestinya memiliki pengaturan yang komprehensif tindak pidana kesusilaan. Celah multitafsir atas perilaku asusila seperti sex bebas mesti hilang”, tutur Nevi.
Acara diskusi yang dilakukan secara daring ini dikatakan Nevi bahwa dari 9 fraksi di DPR RI, hanya FPKS yang menolak. Menurutnya, ada alasan yang cukup kuat bagi FPKS untuk bersikap menolak pengesahan UU TPKS ini.
Fraksi PKS menilai bahwa pembahasan RUU TPKS ini harus dilakukan dengan paradigma berfikir yang lengkap, integral, komprehensif serta pembahasannya dilakukan secara cermat, hati-hati, dan tidak terburu-buru agar pelaksanaan RUU TPKS nantinya dapat secara efektif mencegah dan mengatasi seluruh Tindak Pidana Kesusilaan.
Namun hal itu diabaikan mayoritas fraksi dan tidak mendapat tempat dalam usulan pembahasan. Hal itu terpaksa harus diterima sebagai resiko berdemokrasi.
Nevi mengatakan, bahwa fraksinya menerima aspirasi dari berbagai kalangan. Setelah menyerap banyak aspirasi dan menerima banyak masukan dari masyarakat terkait RUU TPKS, kami dari Fraksi PKS konsisten untuk memperjuangkan agar dalam RUU TPKS diatur perihal larangan dan pemidanaan terhadap Perzinaan dan Penyimpangan Seksual sebagai salah satu bentuk Tindak Pidana Kesusilaan.
“Fraksi kami telah mengusulkan, agar ada ketentuan larangan hubungan seksual berdasarkan orientasi seksual yang menyimpang (LGBT). Mengingat adanya kekosongan hukum perihal pengaturan LGBT di Indonesia, karena tidak ada satu pun hukum positif Indonesia yang secara eksplisit-normatif melarang perilaku LGBT. Masyarakat dapat menilai di payung hukum masih banyak yang perlu diakomodir agar tindak pidana lengkap dan komprehensif, dan yang paling efektif adalah pada memprioritaskan pengesahan RKUHP”, tutup Nevi Zuairina.
Discussion about this post