UtusanIndo.com,(Padang)-
Rela tak rela, itulah jalan terbaik saat ini, sekalipun akibatnya ada keleluasaan kita yang selama ini nyaman jadi tidak nyaman. Semua gerakan jadi terbatas, bulan puasa misalnya kalau kita di Sumatera Barat diawali dengan saling berkunjung dan bermaafan, kini semua terpaksa kita lakukan dengan jalan virtual atau lewat ponsel.
Setelah wabah Covid-19 dari Wuhan, China itu menyebar ke seluruh dunia, maka semua negara mengalami kesibukan yang luar biasa untuk membendung eskalasi penyebaran virus tersebut. Ada yang menutup total (lockdown) wilayah terdampak, ada yang setengah terkunci, ada yang bebas. Termasuk kita di Indonesia pun menerapkan kebijakan Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB).
Untuk beribadah pun ke masjid buat berjamaah Jumat dan jamaah Tarawih, dengan adanya PSBB ini membuat kita harus mengalihkannya ke rumah. Protokol Covid-19 salah satunya adalah ‘di rumah saja’. Dimana-mana di seluruh dunia kini sedang ramai tulisan ‘stay at home’. Di spanduk, di iklan TV, di media online, di kaos, di topi, di stiker mobil dan sebagainya. Itu gambaran bahwa mayoritas warga dunia menghendaki wabah ini perlu dicegah segera perluasan sebarannya.
Setelah diterbitkan Peraturan Pemerintah No 21 tahun 2020 tentang PSBB maka sejumlah Provinsi di Indonesia mulai memberlakukan PSBB. Itu artinya kenyamanan kita semua (termasuk juga penyelenggara negara) akan berkurang. Keleluasaan bergerak menjadi terbatas. Turunan dari PP No 21 oleh daerah dibuatkan pedoman pelaksanaannya dengan Pergub, Perbup dan Perwako, agar bisa dilaksanakan lengkap dengan teknis operasionalnya.
Maka, konsekwensi dari sebuah pembatasan tentu harus ada penerapan hukum berupa sanksi apabila ketentuan-ketentuan yang ada dalam PSBB dilanggar. Misalnya tidak boleh ada kerumunan massa, tidak boleh tidak pakai masker, masuk ke areal publik harus cuci tangan dan bahkan di sejumlah wilayah di Jawa sampai ke pabrik-pabrik pun ‘diistirahatkan’ sementara.
Jika ditemukan juga, berarti masih ada yang perlu kita perbaiki dalam pelaksanaan PSBB. Tak ayal, pelaksanaan di lapangan tentu harus kita akui tidak sempurna seratus persen. Ada saja hal-hal yang menjadi ganjalan sehingga menimbulkan ketidaknyaman baru, baik oleh para pelaksana maupun masyarakat luas karena ada hal-hal yang mengganjal itu dalam sekejap sudah viral ke mana-mana melalui media sosial. Tak ayal informasinya pun ditambah-tambah, yang tidak ada, diada-adakan.
Beberapa kasus misalnya di Medan, ada anggota DPRD yang ngamuk karena dilarang ke rumah salah seorang korban meninggal yang berstatus PDP. Ia bahkan sempat cek-cok dengan petugas Gugus Tugas Covid-19 Medan. Lalu menyatakan bahwa ia tak takut dengan Corona. Di Sumbar juga sejumlah petugas tapal batas sempat bersitegang dengan sejumlah pelintas batas. Ada anggota DPRD, ada dokter.
Saya dengar relawan PMI malah sempat bersinggungan juga dengan sesama petugas di perbatasan di Kabupaten Solok. Bukan tidak mungkin ada banyak rakyat kecil yang juga mengalami ketidaknyamanan itu lalu terjadi juga ketegangan. Tapi karena bukan siapa-siapa, cerita-cerita itu berlalu begitu saja. Dan untuk tokohtokoh tertentu hal itu justru menjadi perhatian publik.
Sebagai mantan wartawan, saya mengerti bahwa ‘nama akan menjadi berita’. Orang biasa belum tentu bisa viral, tetapi seorang Ketua KPU Sumbar sudah pasti menarik perhatian. Apa yang terjadi terbaru ini yakni kesalahpahaman di tapal batas Kota Padang antara Ketua KPU Sumbar Amnasmen dengan Rita Sumarni, petugas dari BPBD Kota Padang yang sedang bertugas di sana, juga merupakan hal yang kadang tak terlelakkan dalam melaksanaan penjagaan yang pasti oleh petugas pun tidak nyaman itu.
Kenapa saya sebut kesalahpahaman? Yang saya maksud sama-sama salah paham. Ketika petugas di tapal batas yang memang dilengkapi dengan surat tugasnya menyetop semua kendaraan yang masuk dan keluar kota, ia melakukan itu berdasarkan order yang diberikan Walikota Padang. Order itu sebagaimana tertuang dalam Surat Edaran Walikota Padang No 870/BPBD-Pdg/V/2020 tentang ‘Larangan Sementara Pengguna Transportasi Darat Masuk dan Keluar Kota Padang’. Dalam SE itu diatur bahwa larangan itu berlaku sejak 8 s.d 31 Mei 2020.
Petugas Rita Sumarni sudah melaksanakan maksud surat edaran itu, ia menghentikan mobil Ketua KPU Sumbar. Tapi kesalahpahaman kan bisa terjadi manakala situasi dan kondisi seperti di tapal batas itu, petugas mungkin lupa bahwa dalam SE Walikota diberi pengecualiaan untuk larangan keluar masuk Kota Padang itu terhadap 1)Kendaraan Pejabat Negara/Daerah, 2)Kendaraan TNI/Polri, 3)Kendaraan Pemadam Kebakaran, ambulance, gawat darurat dan mobil jenazah, 4)Kendaraan pengangkut barang dan sembako tanpa penumpang.
Lalu karena mobil dinas Ketua KPU Sumbar termasuk kendaraan pejabat, petugas mungkin tidak memahami diktum 1 dari pengecualian dalam SE Walikota Padang, hingga terjadi kesalahpahaman itu. Tapi sebagaimana disampaikan oleh Walikota Padang bahwa untuk pejabat negara dan petugas, agar melancarkan perjalaan harus dilengkapi surat tugas. Nah sayangnya ketika diminta si petugas, Ketua KPU tidak bisa menunjukkan surat tugas.
Sampai di situ sebenarnya tidak ada masalah kalau ‘saling paham’. Tergambar dalam video yang viral, seolah petugas Kota Padang tidak peduli dengan jabatan Ketua KPU, atau merasa tidak kenal. Percekcokan seperti yang kita simak di video itu membuat kita prihatin, sesama menjalankan tugas kok tidak bisa saling memahami?
Bahwa kemudian, kasus itu berujung pada dilaporkannya petugas Kota Padang ke Polisi oleh Ketua KPU Sumbar, itu adalah soal lain karena kasusnya adalah soal penyebarluaskan identitas Ketua KPU dan mengarah ke UU ITE. Yang ingin saya katakan bahwa seyogianya keduanya bertemu secara pribadi atau saling menyorongkan tangan untuk bermaafan. Bahkan kalau mungkin dihentikan segala tuntut menuntut.
Saling memaafkan adalah jalan terbaik, karena sama-sama menjalankan tugas negara demi orang banyak. Ketua KPU Sumbar Amnasmen tak mungkin hanya jalan-jalan saja dari Solok ke Padang, tentu beliau juga menjalankan tugas negara sebagai Ketua KPU Sumatera Barat. Hari-hari menjelang Pilkada (yang terundur) tentu sangat menyita waktu dan pikiran beliau. Sementara Rita Sumarni juga sedang menjalankan tugas negara untuk kemaslahatan orang banyak. Pada saat ia sedang menjalankan tugasnya di sana, tentu ia ingin menegakkan wibawa petugas, hingga tak ada kesan bahwa ia tebang pilih. Tentu ia juga ingin mempertanggungjawabkan pelaksanaan tugasnya kepada atasanya Kepala BPBD maupun kepada Walikota Padang.
Nah, kalau saja jarum waktu bisa diputar balik, tentulah idealnya, saat ditanya soal KTP dan surat tugas, yang bertanya menyampaikan pertanyaan dengan ramah dan yang ditanya juga menjawab ramah. Klop kan? Jika kemudian tidak ada surat tugas, rasanya masih bisa dicari jalan tengah dengan menanyakan kepada pimpinan yang lebih tinggi. Pertanyaan bisa datang dari petugas, bisa datang dari Ketua KPU, ke Kepala BPBD bahkan ke Walikota Padang sekalipun.
Kini semua telah terjadi, maka sebaik-baik jalan yang dianjurkan agama adalah membuhul silaturahim. Dan semua pihak tidak perlu lagi membenturkan keduanya secara berhadap-hadapan di media sosial. Bukankah Allah berfirman: “Sesungguhnya orang-orang yang beriman bersaudara, karena itu damaikanlah antara kedua saudaramu (yang berselisih), dan bertakwalah kepada Allah agar kamu mendapat rahmat” (QS. Al-Hujurat: 10).
Discussion about this post