UtusanIndo.com,(Yogyakarta) – Erupsi freatik Gunung Merapi pada Jumat pagi, 11 Mei 2018, tidak bisa diprediksi. Alat peringatan dini tidak mampu mendekteksi atau memberi tanda-tanda terjadinya erupsi tersebut.
“Kami cek dari jaringan seismik yang tersambung ke perangkat peringatan dini, memang semuanya tidak menunjukkan ada tanda Merapi akan erupsi,” ujar Kepala Balai Penyelidikan dan Pengembangan Teknologi Kebencanaan Geologi (BPPTKG) Yogyakarta, Hanik Humaida, di kantornya, Jumat 11, Mei 2018.
Hanik menuturkan tak adanya peringatan dini itu disebabkan erupsi freatik atau erupsi yang hanya melepaskan material berupa uap air. Hal ini berbeda dengan erupsi magmatik pada 2010. “Karena erupsi ini hanya mengeluarkan hembusan berupa uap air, maka rentang waktunya sangat singkat setelah terjadi akumulasi gas, jadi tak sempat mengirim sinyal seismik ke alat peringatan dini,” ujarnya.
Pada 2010, Hanik menjelaskan catatan seismik Gunung Merapi saat itu sangat cepat dibanding erupsi freatik saat ini. “Dari monitoring CCTV yang kami pasang di puncak juga tak ada perubahan morfologi di bibir kawah,” ujar Hanik.
Hanik menuturkan erupsi freatik kali ini merupakan erupsi ketujuh sejak erupsi Merapi 2010. Penyebabnya berupa akumulasi gas yang terdorong ke permukaan akibat aktivitas di perut gunung yang perlu dilepaskan.
Karena hanya terjadi di permukaan, kata Hanik, uap yang keluar pun berwarna putih. “Suhu uap air erupsi ini tadi sempat tercatat tertinggi 90 derajat saat erupsi lalu turun menjadi 30 derajat siang ini,” ujarnya.
Erupsi freatik dan magmatik berbeda. Hanik menjelaskan erupsi magmatik uap yang dihembuskan lebih pekat dan jauh lebih berbahaya. Erupsi magmatik Gunung Merapi menimbulkan awan panas atau wedhus gembel. “Erupsi freatik ini bukan tahapan atau penanda terjadinya erupsi magmatik, jadi letusan Merapi seperti 2010 belum bisa diprediksikan,” ujarnya.
Discussion about this post