UtusanIndo.com,(Jakarta) – Nama Gatot Nurmantyo menyusul masuk daftar peserta pemilu presiden tahun 2019. Mantan panglima TNI itu resmi masuk kandidat setelah namanya dideklarasikan oleh komunitas relawan Gatot Nurmantyo untuk Rakyat atau GNR pada 6 April 2018.
Seperti lazimnya tokoh lain yang berhasrat menjajal peruntungan dalam kontetasi politik nasional, tawaran Gatot cukup tinggi: calon presiden, alih-alih cukup calon wakil presiden saja. Berbekal pengalaman selama dua tahun memimpin TNI, Gatot percaya diri untuk berkompetisi pada 2019.
Satu lagi aspek elektabilitas yang dianggap cukup sebagai modal bagi jenderal purnawirawan TNI Angkatan Darat itu ialah kedekatannya dengan sejumlah tokoh agama Islam. Itu tak lepas dari perannya dalam menjalin hubungan baik dengan kalangan Islam terutama sekali saat momentum Aksi Bela Islam pada 2 Desember 2016 yang kelak populer disebut juga Aksi 212.
Peluang
GNR sebagai pengusung Gatot menyingkirkan opsi mantan kepala staf TNI Angkatan Darat itu diajukan sebagai calon wakil presiden untuk dua kandidat kuat presiden: Joko Widodo atau Prabowo Subianto. GNR tetap mematok target tertinggi, yaitu calon presiden, apa pun kendala dan rintangan yang dihadapi nanti.
“Diskusinya adalah Pak Gatot diyakini, dan teman-teman merasa, beliau figur yang tepat jadi pemimpin nasional dalam menjaga Pancasila, NKRI, dan demokrasi,” kata Dondi Rivaldi, Presidium Nasional GNR, dalam forum deklarasi itu.
Dondi menjelaskan, pada dasarnya bukan soal ingin menutup peluang lain sebagai calon wakil presiden andai target tertinggi sulit dipenuhi. Deklarasi itu, katanya, ialah semacam wujud agregasi aspirasi politik masyarakat yang memang menghendaki Gatot menjadi pemimpin nasional.
“Pasca (Gatot Nurmantyo) pensiun,” Dondi mengklaim, “banyak pihak berharap agar jenderal Gatot dapat tampil menjadi calon pimpinan nasional pada 2019. Kami akan mendukung penuh apabila Gatot Nurmantyo menjadi calon pimpinan nasional 2019. Harapan ini juga menjadi harapan banyak pihak melihat tren positif di berbagai hasil survei.”
Klaim Dondi seolah gayung bersambut. Sehari setelah deklarasi itu, muncul komunitas yang menamakan diri Selendang Putih yang menyatakan secara terbuka mendukung Gatot Nurmantyo. Komunitas itu, konon, dibentuk secara spontan yang bermula dari gerakan sosial melalui media sosial Facebook dan kemudian pelan-pelan direspons banyak orang.
Ketua Umum Selendang Putih, Rama Yumantha, bahkan megaku tak pernah berkomunikasi langsung dengan Gatot Nurmantyo sebelum sang jenderal pensiun dari militer. Namun jauh sebelum itu, katanya, gerakan mendukung Gatot mulai gencar meski masih di kalangan terbatas.
Rama mengklaim dukungan kepada mantan Panglima Komando Cadangan Strategis Angkatan Darat itu tak bertepuk sebelah tangan. Komunitas Selendang Putih sedang beraudiensi dengan partai-partai politik untuk mengajukan Gatot sebagai calon alternatif pada 2019.
“Jadi nanti biar Pak Gatot yang menjelaskan biar clear (jelas), nanti kita deklarasi bareng-bareng parpol,” kata Rama dalam perbincangan di tvOne pada Minggu, 8 April.
Ajang adu nyali para kandidat itu sesungguhnya terbuka saja; siapa pun boleh mencalonkan atau dicalonkan. Begitu juga dengan Gatot Nurmantyo. Tetapi tentu saja jalan yang mesti ditempuh tak cukup sekadar deklarasi atau menggalang sebanyak-banyak dukungan masyarakat. Siapa saja kandidatnya dan sepopuler apa pun orangnya, percuma kalau tak mendapatkan dukungan partai politik. Lupakan kemungkinan mencalonkan melalui jalur perseorangan atau independen karena peluang itu tertutup dalam Undang Undang Pemilu.
Keniscayaan dukungan partai politik itu persis seperti yang diingatkan Adi Prayitno, pengamat politik pada Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta. Dia bahkan menilai kans Gatot sebagai calon presiden, berdasarkan dinamika politik sekarang, cukup sulit. Alasan utamanya ialah Gatot tak akan sanggup memastikan dukungan partai politik atau gabungan partai politik untuk memenuhi presidential threshold alias ambang batas pencalonan presiden sedikitnya 20 persen kursi di Parlemen.
“Syarat tak mudah tentunya karena mayoritas parpol sudah merapat ke Jokowi, dan sebagian lain seperti PKS ke Prabowo,” kata Adi kepada VIVA pada Jumat, 6 April.
Analisis yang dimaksud Adi ialah kini hanya ada dua poros besar, yaitu partai-partai pendukung petahana Jokowi dan partai-partai opisisi penyokong Prabowo. Nyaris tak ada kans poros ketiga atau gabungan partai politik yang ingin mengajukan calon alternatif selain Jokowi atau Prabowo.
“Dua kanal capres sudah penuh, tak tersedia slot untuk Gatot, kecuali Prabowo legowo mundur dan sediakan karpet merah untuk pancapresan Gatot,” katanya.
Adi malah menyarankan target yang lebih realistis bagi Gatot, yaitu mengajukan diri sebagai calon wakil presiden untuk Jokowi atau Prabowo. Peluang itu, katanya, masih sangat terbuka meski sekarang mulai berjejalan tokoh-tokoh yang digadang-gadang menjadi wakil Jokowi dan sebagian untuk Prabowo.
Direktur Eksekutif Indikator Politik Indonesia, Burhanudin Muhtadi, berbeda pendapat dengan Adi. Burhanudin menganggap kans Gatot tak gelap-gelap amat, masih sangat terbuka untuk segala kemungkinan.
Bukan sesuatu yang mustahil, Burhanudin menganalisis, partai politik akan jatuh hati kepada Gatot jika elektabilitas mantan Panglima Kodam Brawijaya itu cukup tinggi. Justru partailah yang akan memburu Gatot jika sang jenderal memang cukup populer dan diterima masyarakat. Dia mencontohkan kasus Jokowi pada Pemilu 2014. Jokowi bukanlah elite partai tetapi sanggup mengumpulkan dukungan melebihi cukup dari partai politik karena elektabilitasnya tinggi kala itu.
Peluangnya memang, menurut Burhanudin, hanya pada dua poros Jokowi atau poros Prabowo, bukan poros alternatif. Poros Jokowi relatif sudah mapan dan tak dapat diutak-utik. Poros Prabowo tak sekokoh lawannya, karena sejauh ini belum ada keputusan bulat untuk pencalonan Prabowo. Lagi pula, katanya, popularitas dan elektabilitas Prabowo berdasarkan sejumlah survei memperlihatkan tren yang stagnan.
Di situlah peluang Gatot bisa dipertimbangkan meski belum dapat disebut diperhitungkan. Ada satu hal lain yang dapat dijadikan bekal bagi Gatot, yaitu fakta bahwa pemilih Gatot sebagian besar adalah pemilih Prabowo Subianto pada Pemilu 2014. Pendukung Gatot Nurmantyo berada di bawah bayang-bayang Prabowo.
“Sebagian pemilih mengatakan peluang Pak Gatot besar kalau Pak Prabowo tak maju. Jadi ini yang bagi saya kontroversi; Prabowo sebagai capres atau sebagai king maker (penentu kebijakan/keputusan poros koalisi partai),” ujarnya.
Reaksi partai
Partai Gerindra, sebagai partai utama pendukung Prabowo, tak lugas menerima atau menolak Gatot meski cenderung kukuh mengajukan Prabowo. Gatot boleh saja masuk bursa kandidat tetapi Gerindra sudah memantapkan dukungan kepada sang mantan komandan jenderal Kopassus itu.
“Semua sudah tahu bahwa DPD dan DPC seluruh Indonesia memberikan mandat kepada Pak Prabowo sebagai calon presiden. Apakah Pak Gatot maju dari Gerindra, lihat faktualnya saja. DPC dan DPC seluruh Indonesia sudah mengusulkan Ketua Dewan Pembina (Prabowo Subianto) kita sebagai capres 2019,” kata Nizar Zahro, Ketua Dewan Pimpinan Pusat Partai Gerindra.
Anggota Komisi V DPR RI itu malah mempersilakan Gatot maju sebagai calon presiden dari partai lain. Sebab semua warga negara memang mempunyai hak yang sama untuk menjadi calon presiden, sepanjang memenuhi persyaratan sebagaimana diatur dalam Undang-undang Nomor 7 tahun 2017 tentang Pemilu. Salah satu syaratnya ialah mendapatkan dukungan partai politik sekurang-kurangnya 20 persen kursi Parlemen.
“Apakah beliau diajukan dari partai mana, itu hak beliau. Tapi semua parpol pasti punya mekanisme masing-masing,” kata Nizar, seolah menutup pintu Gerindra untuk Gatot.
Partai Keadilan Sejahtera sebagai sekutu Gerindra berkomentar lebih lunak tentang peluang bagi Gatot. PKS sebenarnya sudah menetapkan sembilan nama, semua kader, yang dinominasikan sebagai kandidat presiden atau wakil presiden.
Sesungguhnya juga tertutup peluang bagi Gatot untuk masuk karena dia bukan kader PKS. Namun PKS bisa saja mempertimbangkan nama Gatot kalau dia masuk lebih dahulu menjadi kader. “Kalau (Gatot Nurmantyo) jadi kader, tentu diperlakukan secara beda,” kata Ketua Dewan Pimpinan Pusat PKS, Mardani Ali Sera, kepada VIVA pada Sabtu, 7 April.
Partai di poros Jokowi, yaitu Partai Persatuan Pembangunan atau PPP, serta-merta menutup peluang Gatot sebagai calon presiden. Masih dipertimbangkan di posisi calon wakil presiden untuk Jokowi tetapi kapasitasnya diragukan, terutama untuk menggalang dukungan kalangan pemilih muslim.
“Ketika dia (Gatot Nurmantyo), misalnya, menjadi pasangannya Pak Jokowi, kemudian apakah akan menambah elektabilitas dari sisi umat Islam—itu questionable (kapasitas yang layak dipertanyakan),” kata Sekretaris Jenderal PPP, Arsul Sani, di Jakarta pada Rabu, 4 April.
Jokowi, kata Arsul, sejatinya sudah memiliki basis massa umat Islam cukup besar, terutama dari kalangan Muhammadiyah dan Nahdlatul Ulama. Karena itu, tanpa bantuan Gatot, menurutnya, Jokowi sudah meraih suara kalangan muslim. Elektabilitas Jokowi pun tak lagi bergantung atau tak mengandalkan dari tokoh calon wakil presidennya.
Selain itu, sedikitnya sudah ada dua nama yang berdasarkan tolok ukur representasi umat Islam, muncul atau dinominasikan sebagai kandidat wakil presiden untuk Jokowi, yaitu Muhaimin Iskandar dan Romahurmuziy. Keduanya adalah ketua umum PKB dan PPP, partai berbasis massa muslim-NU.(sumber Viva)
Discussion about this post