UtusanIndo.com,(Padang) – Gubernur Sumatera Barat Irwan Prayitno mengkritisi Badan Pusat Statistik (BPS) atas penilaian terhadap Indeks Demokrasi di Indonesia yang dipublikasikan sekitar September tahun lalu yang menempatkan Provinsi Sumatera Barat sebagai provinsi paling tidak demokratis di Indonesia dengan nilai indeks sebesar 54,41 dan masuk dalam kategori ‘buruk’.
“Itu datanya ada, tapi indikatornya ga bener,” ujarnya saat memberikan sambutan pada acara Koordinasi dan Sosialisasi Penyusunan Disagregasi Pembentukan Modal Tetap Bruto (PMTB) dengan Dinas dan Stakeholder Terkait yang diselenggarakan di Auditorium Gubernuran, Selasa (3/4/2018).
Menurut Irwan Prayitno, publikasi tersebut, walaupun disandarkan pada data dan diolah menggunakan metodologi tertentu, namun tidak didasarkan pada indikator yang benar.
Ditambahkan, Irwan Prayitno, menyoroti kebijakan yang diambil oleh Pemerintah Provinsi sebagai salah satu indikator untuk menilai demokratis atau tidaknya daerah adalah sebuah kekeliruan.
“Masa perangi LGBT ga demokrasi? Masa suruh anak-anak mengaji biar hafal Quran ga demokrasi? Masa menyelenggarakan pesantren kilat ga demokrasi? Masa suruh anak-anak perempuan pakai kerudung ga demokrasi?” protesnya.
Demokrasi, dalam kaitannya dengan pengambilan kebijakan, urai Irwan Prayitno kemudian, dalam makna esensial yang diterima secara universal adalah kondisi di mana kebijakan diambil setelah melalui proses musyawarah dan disepakati dengan mufakat, atau, kebijakan tertentu diambil atas persetujuan mayoritas masyarakat di suatu lingkungan tertentu.
Dijelaskan,Irwan Prayitno, jika sebuah kebijakan pemerintah diterima oleh mayoritas warganya, maka kebijakan tersebut tidak bisa disebut sebagai tidak demokratis.
“Suara terbanyak. Itu kan yang demokrasi?, misal ada dalam sepuluh orang, lalu delapan diantaranya merupakan orang gila dan yang waras dua orang,pasti akan dengan pilihan orang gila tersebut”, Ujarnya yang disambut tepuk tangan hadirin.
Sebuah kebijakan tanpa mempertimbangkan proses pengambilannya dan penerimaan masyarakat atasnya akan mengantar peneliti manapun pada simpul yang keliru.
“Jadi BPS meletakkan indikator tentang demokrasi itu tidak tepat. Coba indikatornya setuju atau tidaknya masyarakat atas kebijakan tersebut? Lain hal apabila 51% masyarakat Sumbar tidak setuju anak-anaknya berkerudung, tidak senang anak-anaknya pinter baca Quran, namun (Pemprov) tetap menjalankan kebijakan tersebut, itu baru tidak demokratis,” katanya mengoreksi.(bs)
Discussion about this post