UTUSANINDO.COM,(JAKARTA) – KPK menetapkan Bupati Lampung Tengah Mustafa sebagai tersangka kasus penyuapan terhadap DPRD dan menjebloskannya ke tahanan.
Pemberian suap kepada Dewan itu untuk mendapat persetujuan pengajuan pinjaman Rp300 miliar ke PT Sarana Multi Infrastruktur (SMI). Rencananya uang pinjaman itu untuk membiayai proyek-proyek infrastruktur di Lampung Tengah.
Mustafa diduga mengumpulkan uang untuk menyuap DPRD dari sejumlah pengusaha. “Dugaannya berasal dari kontraktor yang biasanya mengerjakan proyek di Dinas Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat atau PUPRLampung Tengah,” kata Febri Diansyah, Juru Bicara KPK.
Lembaga antirasuah masih mengembangkan penyidikan mengenai dari siapa saja uang suap dikumpulkan. Bukti-bukti pengiriman uang masih dicari. “Nanti akan diklarifikasi kepada saksi terkait,” kata Febri.
Dalam operasi tangkap tangan(OTT), KPK menyita barang bukti uang Rp1 miliar dan Rp 160 juta. Uang itu diduga akan diserahkan ke Dewan untuk mendapatkan persetujuan pengajuan pinjaman.
Uang Rp900 juta dikumpulkan dari sejumlah kontraktor. Sisanya Rp 100 juta berasal dari dana taktis Dinas PUPR Lampung Tengah.
“Kami dalami lebih lanjut terkait kepentingan apa kontraktor memberikan uang itu. Apakah Rp 900 juta itu dipinjamkan atau ada hal-hal lain yang dibicarakan di sana,” kata Febri.
Ia menambahkan, penyidik sudah mengantongi identitas para kontraktor yang diduga terkait dengan suap ini. Bahkan, sebutnya, ada kontraktor yang tengah menggarap proyek di Lampung Tengah.
Dalam kasus ini, Bupati Mustafa ditetapkan sebagai tersangka pemberi suap bersama Kepala Dinas Bina Marga Lampung Tengah, Taufik Rahman.
Uang akan diserahkan kepada Wakil Ketua DPRD Lampung Tengah Natalis Sinaga dan tersangka anggota DPRD Lampung Tengah Rusliyanto. Keduanya juga ditetapkan sebagai tersangka penerima suap. “Empat tersangka sudah resmi menjadi tahanan KPK,” kata Febri.
Untuk diketahui dalam OTT yang dilakukan 14-15 Februari 2018, KPK menciduk 19 orang dari dua tempat. Setelah diperiksa, 15 orang dilepas. “Mereka berstatus saksi,” kata Febri.
Kronologi penangkapan mereka diawali pada Rabu, 14 Februari 2018 sekitar pukul 14.00 WIB. Penyidik mencokok pihak swasta berinisial Adari sebuah restoran di Lampung Tengah.
Satu jam berselang, penyidik menangkap pegawai negeri sipil (PNS) Lampung Tengah berinisial SNW di rumahnya. Penyidik menyita duit Rp160 juta.
Sore hari sekitar pukul 17.00 WIB, penyidik kembali melakukan penangkapan terhadap Sekretaris Dewan (Sekwan) DPRD Lampung Tengah berinisial D di Bandara Radin Inten, Lampung.
Penangkapan berlanjut terhadap ADK, pihak swasta di kediamannya. Dari tangan ADK, penyidik menyita uang Rp 1 miliar yang disimpan di mobil Honda CRV. Tim juga mengamankan R bersama rekannya S saat menuju Bandar Lampung dari Lampung Tengah.
Lalu pada pukul 19.00 WIB, penyidik KPK mengamankan N (kontraktor) di rumahnya di Lampung Tengah. Berlanjut setelah penangkapan itu, penyidik menangkap J Natalis Sinaga, Wakil Ketua DPRD di kediamannya, pukul 22.00 WIB. Bersama delapan orang tersebut, tim KPK mengamankan dua orang sopir.
Pada saat bersamaan di Jakarta, tim KPK menangkap lina orang yaitu Taufik Rahman, (Kadis Bina Marga Lampung Tengah), AAN(PNS Lampung Tengah), ADR (Kabid PUPRLampung Tengah), I (staf PUPR), dan K, (PNS).
Kelimanya ditangkap saat berada di sebuah hotel kawasan Jakarta Pusat. Penangkapan dilanjutkan terhadap tiga anggota DPRD Lampung Tengah berinisial ZA, RR, dan IK di hotel berbeda.
Esok harinya, 15 Februari 2018, tim KPK menangkap ajudan Bupati Lampung Tengah. Penangkapan tersebut berlanjut pada penangkapan Bupati Mustafa pada pukul 18.20 WIB.
Kilas Balik
Ketua DPRD Minta “Uang Ketok” Plt Sekda Lapor Ke Gubernur
Kasus Suap Pengesahan APBD Jambi 2018
Pelaksana Tugas (Plt) Sekretaris Daerah Provinsi Jambi Erwan Malik didakwa menyuap anggota DPRD Rp3,4 miliar untuk memuluskan pembahasan Rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja (APBD) tahun 2018.
Pemberian uang kepada anggota dewan dilakukan bersama Plt Kepala Dinas Pekerjaan Umum Arfan dan Saipudin, Asisten III Administrasi Umum Jambi (didakwa terpisah).
“Telah memberi atau menjanjikan sesuatu kepada pegawai negeri atau penyelenggara dengan maksud supaya berbuat atau tidak berbuat sesuatu dalam jabatannya yang bertentangan dengan kewajibannya,” Jaksa Tri Mulyono membacakan dakwaan di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) Jambi.
Anggota DPRD yang menerima uang antara lain Cekman, Elhelwi, Parlagutan Nasution, MJuber, Sufardi Nurzaim, Ismet Kahar, Tartiniah, Popriyanto, Tadjuddin Hasan dan Supriyono.
Jaksa membeberkan kasus yang menjerat Erwan. Awalnya, pada 21 Agustus 2017 Gubernur Jambi Zumi Zola menyampaikan nota pengantar rancangan kebijakan umum (KUA) APBD dan rancangan Prioritas Plafon Anggaran Sementara (PPAS) APBD 2018 ke DPRD.
Kemudian Erwan dan Arfan melakukan pertemuan dengan Ketua DPRD Cornelis Buston. Saat itu, Cornelis menyampaikan permintaan uang “ketok palu” untuk pengesahan APBD itu. “Saat itu Erwan dan Arfan belum dapat menyanggupinya dikarenakan status jabatan hanya sebagai Pelaksana Tugas,” sebut jaksa.
Erwan kemudian melaporkan permintaan uang “ketok palu” kepada Zumi. Gubernur menyarankan agar Erwan berkoordinasi dengan orang kepercayaannya, Asrul Pandapotan Sihotang.
Setelah berkoordinasi, Asrul menyampaikan Zumi setuju memberikan uang ìketok paluî untuk DPRD dan proyek untuk pimpinan dewan.
Asrul juga menyampaikan jabatan Erwan Plt Sekda dan Arfan sebagai Plt Kepala Dinas PU akan dipertahankan. Seharusnya jabatan Plt Sekda sudah berakhir pada September 2017.
Sementara di DPRD, Cornelis mengadakan rapat dengan anggota lainnya membahas uang “ketok palu”. Disepakati masing-masinganggota dapat Rp 200 juta. Uang mukanya Rp 100 juta dulu.
Sedangkan untuk pimpinan DPRD tidak diberikan tunai, tapi dalam bentuk proyek di APBD 2018 dan fee 2 persen atas proyek jalan layang Kota Jambi.
Setelah itu, Cornelis meminta Erwan menyerahkan Rp 50 miliar untuk 50 anggota dewan. Erwan memerintahkan Arfan dan Saipudin mengumpulkan uang.
“Saipudin meminta uang dari dinas-dinas seluruhnya terkumpul Rp 77 juta. Sedangkan Arfan meminta bantuan Joe Fandy Yoesman alias Ahui kontraktor yang mendapat pekerjaan di Dinas PUPR Jambiódan Ahui menyanggupi,” sebut jaksa.
Ahui menyerahkan Rp 5 miliar kepada Arfan. Uang itu lalu dibagi-bagikan kepada perwakilan fraksi-fraksi di dewan. Rinciannya untuk Fraksi Restorasi (gabungan Partai Nasdem dan Hanura) Rp 700 juta yang diterima Cekman.
Uang Rp 600 juta untuk Fraksi PDIP diserahkan kepada Elhelwi. Uang Rp 400 juta diserahkan kepada Parlagutan Nasution, perwakilan Fraksi PPP.
Kemudian Rp 700 juta untuk Fraksi Golkar diberikan kepada MJuber. Tadjuddin Hasan menerima jatah Fraksi PKB Rp 600 juta.
Jaksa menyebutkan ada sisa Rp 1,7 miliar yang akan dibagikan untuk tiga fraksi, yakni Fraksi PAN Rp 400 juta, Fraksi Partai Demokrat Rp 800 juta, dan Fraksi Gerindra Rp 500 juta.
Jatah uang Rp 300 juta untuk Fraksi Partai Bintang Keadilan (gabung PKS dan Partai Bulan Bintang) belum diserahkan karena belum diketahui siapa yang bakal menerimanya.
Jaksa menyebut jatah Fraksi PAN telah diberikan. Sedangkan jatah Fraksi Partai Demokrat dan Fraksi Partai Gerindra belum sempat diberikan karena Erwan keburu ditangkap KPK.
Atas perbuatannya, Erwan didakwa melanggar Pasal 5 ayat 1 huruf a atau Pasal 13 UU 31 Tahun 1999 tentang Tipikor yang diubah dengan UU 20 Tahun 2001 juncto Pasal 55 ayat 1 kesatu juncto Pasal 64 ayat 1 KUHP(rmol)
Discussion about this post