UtusanIndo.com, Jakarta – Anggota Komisi II DPR RI, Rahmat Saleh, mengajukan sejumlah pertanyaan krusial kepada Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi (Menpan-RB) terkait urgensi pemindahan aparatur sipil negara (ASN) ke Ibu Kota Nusantara (IKN).
Dalam rapat kerja yang digelar di Kompleks Parlemen Senayan pada Selasa (20/5), Rahmat meminta pemerintah menjelaskan dengan jernih apakah kebijakan tersebut merupakan kebutuhan mendesak atau sekadar dorongan keinginan politik semata.
“Kita ingin bertanya, menurut pendapat Bu Menteri, apakah pemindahan ASN atau PNS ke IKN ini sudah merupakan sebuah kebutuhan atau masih berupa keinginan?” kata Rahmat saat Rapat Dengar Pendapat (RDP) Komisi II DPR RI dengan Menteri PAN/RB di Gedung Senayan, Jakarta, Selasa (20/5/2025).
Ia menekankan pentingnya kepastian arah kebijakan, mengingat dampak luas yang dapat ditimbulkan jika pemindahan dilakukan tanpa perencanaan yang matang.
Menurutnya, jika memang sudah menjadi kebutuhan riil, maka tahapan pelaksanaan harus segera dibahas secara terstruktur dan menyeluruh.
“Kalau ini sudah menjadi kebutuhan, tentu kita harus segera membahas langkah-langkah dan tahapan-tahapan yang telah dirancang,” sambungnya.
Namun jika masih dalam tahap keinginan, lanjut Rahmat, maka ada banyak risiko yang perlu dipertimbangkan secara cermat, terutama dalam konteks anggaran negara dan kesiapan institusional.
Dia mengingatkan, efisiensi fiskal sedang menjadi sorotan, sementara situasi ekonomi global belum sepenuhnya stabil.
“Kalau pemindahan dilakukan saat banyak urusan belum selesai di Jakarta, tentu akan terjadi pembengkakan anggaran—biaya mobil dinas, operasional, bahkan tiket pesawat bolak-balik pegawai,” ujarnya.
Rahmat menyoroti potensi masalah sosial yang mungkin timbul akibat kebijakan ini.
Menurutnya, pemindahan ASN tidak hanya berdampak pada sistem kerja institusi, tetapi juga kehidupan pribadi pegawai dan keluarganya.
“Ketika salah satu dipindah, sementara pasangannya tetap bekerja di tempat asal, entah itu di pemda, BUMN, atau swasta, sementara anak-anak masih sekolah di Jakarta, maka akan terjadi perpisahan keluarga,” jelasnya.
Isu semacam ini tidak boleh dianggap sepele. Dampak psikologis dan sosial terhadap pegawai dan keluarganya, menurutnya, patut menjadi perhatian utama dalam perumusan kebijakan.
“Ini berpotensi menimbulkan masalah baru. Bahkan bisa memicu disintegrasi keluarga jika tidak dikelola dengan bijak. Tiket mahal, biaya operasional tinggi, dan jarak yang jauh tentu jadi beban tersendiri,” ujar Rahmat.
Rahmat juga menekankan pentingnya kesiapan sosial-budaya dari lingkungan baru di IKN, yang harus diperhitungkan secara matang.
Penyesuaian terhadap tatanan sosial, budaya lokal, dan ekosistem kerja baru dinilai tidak bisa berjalan secara instan.
Rahmat turut mempertanyakan kesiapan hukum dan peraturan pendukung yang menjadi dasar pelaksanaan pemindahan ASN tersebut.
Dia menegaskan bahwa semua instrumen hukum harus tersedia dan saling mendukung sebelum kebijakan dijalankan.
“Apa landasan hukum yang sudah kita siapkan untuk hal ini, Bu? Apakah sudah lengkap? Jangan sampai nanti pada Oktober 2025, ketika masa berlaku sejumlah kebijakan berakhir, ternyata belum ada regulasi yang siap,” katanya.
Rahmat juga mengingatkan agar pemerintah tidak terburu-buru dalam mengambil langkah yang dapat memengaruhi banyak aspek dalam kehidupan bernegara.
“Ketika kita sudah menekan tombol pemindahan, maka seluruh argo akan berjalan. Mulai dari anggaran hingga tatanan sosial akan ikut bergerak. Ini harus kita antisipasi sejak awal,” ucapnya.
“Saya apresiasi Bu Menteri dan seluruh jajaran yang tetap responsif dalam menjawab berbagai dinamika di lapangan. Tapi kita semua ingin agar kebijakan ini tidak hanya baik di atas kertas, melainkan betul-betul matang secara teknis dan sosial,” tutupnya.
Discussion about this post