OLEH : RIDHO AFALDA CHANIAGO,S.STP.,M.Si
(BIROKRAT – AKADEMISI)
Otonomi daerah tidak lahir pasca reformasi melainkan telah ada sejak tahun 1903. Pada tahun 1903 Pemerintah Belanda telah mengeluarkan Decentralisatiewet S 1903/329. Namun masih banyak yang belum mengetahui hal tersebut. Kita selalu menyoroti Otonomi Daerah hadir setelah Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah.
Padahal sebelumnya sudah banyak kebijakan yang mengatur terkait pemerintahan daerah maupun pemerintahan di daerah. Ada 3 (tiga) masa pada waktu itu yakni masa penjajahan Belanda, masa penjajahan Jepang, dan ketika Indonesia merdeka. Pada masa penjajahan Belanda, pemerintahan daerah dijalankan hanya untuk meringankan beban penjajah dan agar untuk menjaga kestabilan penjajahan. Artinya otonomi daerah terkesan hanya dimanfaatkan untuk kepentingan penajajahan Belanda. Begitupun pada masa penjajahan Jepang, otonomi daerah dijalankan sebagai kekuatan yang diarahkan untuk menghadapi perang Asia Timur Raya. Lagi-lagi otonomi daerah dimanfaatkan penjajah.
Situasi politik telah merubah dan mempengaruhi perjalanan otonomi daerah dari masa ke masa perjuangan Indonesiapun berhasil untuk merdeka. Pada era pasca kemerdekaan, penyelenggaraan pemerintah daerah diatur mulai dari kebijakan dalam UU No.1 tahun 1945 tentang Komite Nasional Daerah dimana dikenal dengan istilah ‘otonomi Indonesia’ dan jenis urusan dan kewenangan belum ditetapkan secara rinci. Kewenangannya dengan pedoman selagi tidak bertentangan dengan pemerintahan yang lebih tinggi maka keresidenan, kabupaten dan kota dapat mengurus urusan rumah tangganya sendiri.
Semua pembiayaan ditanggung 100% oleh daerah. Ini merupakan upaya Pemerintah Pusat untuk mempertahankan NKRI yang baru merdeka. Kemudian muncul UU No.22 tahun 1948 tentang Pemerintahan Daerah. Daerah dibagi menjadi 3 (tiga) yaitu; provinsi, kabupaten/kota, dan desa.
Pada masa ini prinsip pembagian urusan belum ditegaskan dan belum rinci. Bergeser pada era UU No.1 tahun 1957 tentang Pokok-Pokok Pemerintahan Daerah dimana menganut prinsip otonomi rill yang berarti menyesuaikan dengan kemampuan daerah berdasarkan factor-faktor rill dan belum secara rinci membagi urusan pusat dan daerah.
UU No.18 tahun 1965 tentang Pokok-Pokok Pemerintahan Daerah, lebih sama dengan UU sebelumnya dengan prinsip ‘otonomi rill’ namun sudah memberikan peluang untuk mendistribusikan kewenangan dari pusat kepada daerah.
Selanjutnya pada masa UU No. 5 tahun 1974 tentang Pokok-Pokok Pemerintahan di Daerah. Daerah terbagi atas 2 (dua) tingkat yaitu daerah Tk.I dan daerah Tk.II. Sedangkan wilayah disusun atas beberapa tingkat yaitu; Provinsi, Kabupaten /Kota Madya, Kotip (bagi yang ada) serta kecamatan dan kelurahan.
Situasi politik berubah dikarenakan saat itu telah terjadi pergantian kepemimpinan yang diambil alih oleh Presiden Soeharto. Demi menjaga kestabilan politik dan pemerintahan, pemerintah pusat harus kuat. Sehingga lebih dominan sentralisasi.
Otonomi daerah dijalankan dengan prinsip otonomi nyata dan bertanggungjawab. Namun pada implementasinya tidak demikian.
Kedudukan ibaratkan kaki dilepas kepala dipegang. Urusan pemerintah daerah semakin banyak sementara kewenangan daerah semakin kecil. Selain urusan pangkal, sudah ada urusan tambahan yang diserahkan kepada daerah Tk.II.
Menariknya pada masa ini proses dekonsentrasi dilaksanakan hingga tingkat kecamatan. Dan kecamatan dibentuk atas kewenangan pusat. Pembentukkan atau pendirian sekolah tingkat SLTP dan SLTA menjadi kewenangan provinsi dan kewenangan membentuk desa adalah melalui keputusan Gubernur.
Selanjutnya, pada UU no.22 tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah. Pada UU ini otonomi dijalankan secara nyata, seluas-luasnya dan bertanggungjawab. Daerah provinsi dan kabupaten/kota masing-masingnya sudah otonom. Bupati dan Walikota bukan bawahan dari seorang Gubernur.
Terkait dengan kewenangan daerah sudah lebih leluasa untuk melaksanakan urusan rumah tangganya sendiri. Kabupaten dan kota dapat melakukan inventarisir kewenangan yang ditawarkan pusat sesuai kebutuhannya. Namun kewenangan seorang gubernur lebih sempit karena proses desentralisasi dijalankan oleh kabupaten/kota.
Setelah UUD 1945 diamandemen, keluarlah kebijakan terkait pemerintahan daerah melalui UU no.32 tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah. Kewenangan provinsi semakin kuat. NKRI dibagi atas daerah provinsi dan provinsi dibagi lagi atas kabupaten/kota. Otonomi daerah dijalankan dengan prinsip seluas-luasnya, nyata dan bertanggungjawab.
Luas berarti daerah diberikan kewenangan untuk mengelola semua urusan pemerintahan kecuali urusan yang menjadi kewenangan pemerintah pusat. Nyata dimaksudkan daerah telah diberikan kewenangan yang senyatanya telah ada demi daerah untuk tumbuh dan berkembangan sesuai dengan potensi dan karakteristik masing-masing.
Oleh karenanya disamping urusan wajib, daerah mendapatkan menjalankan urusan pilihan yang berdasarkan keadaan dan resources daerah masing-masing. Pada UU ini kewenangan provinsi lebih jelas dan luas, berbeda dengan UU tentang pemerintahan daerah pada sebelumnya yang bersifat terbatas.
Yang membedakan antara provinsi dan kabupaten/kota dalam hal kewenangan menjalankan urusan pemerintahan adalah ada pada skalanya. Dan yang menjadi urusan pemerintah pusat adalah politik luar negeri, moneter dan fiskal, pertahanan, keamanan, yustisi, dan agama.
Selanjutnya pelaksanaan otonomi daerah berlabuh pada UU No.23 tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah. UU ini lahir untuk mencari titik kesimbangan antara pusat, provinsi, dan kabupaten/kota. Disisi lainnya untuk mewujudkan efektivitas dan efisiensi dalam penyelenggaraan pemerintahan. Pada UU ini, negara dibagi atas daerah provinsi dan daerah provinsi dibagi atas kabupaten/kota. Lalu kabupaten/kota dibagi atas kecamatan.
Dan kecamatan dibagi atas kelurahan dan desa. Otonomi dijalankan dengan prinsip seluas-luasnya namun dikunci dalam bingkai NKRI. Ini memiliki maksud bahwa segala urusan pemerintahanyang dilaksanakan oleh daerah tetap bertanggungjawab pada pemerintah pusat terutama kepada presiden sebagai pemegang kekuasaan pemerintahan. Segala kebijakan pemerintah daerah harus bersandar pada kebijakan strategis nasional.
Urusan pemerintahan sudah dibagi secara rinci yang terdiri dari urusan asbsolut, urusan konkuren, dan urusan pemerintahan umum. Urusan absolut menjadi kewenangan pemerintah pusat diantaranya; politik luar negeri, yusitisi, pertahanan, keamanan, moneter/fiskal, dan agama. Urusan konkuren adalah urusan yang dibagi bersama antara pemerintah pusat, provinsi, dan kabupaten/kota.
Urusan konkuren terdiri atas urusan wajib dan pilihan. Urusan wajib terdiri atas 24 urusan yaitu ; pendidikan, kesehatan, pekerjaan umum dan penataan ruang, perumahan rakyat dan kawasan pemukiman, ketentraman, ketertiban umum, perlindungan masyarakat, social, tenaga kerja, pemberdayaan perempuan dan anak, pangan, pertahanan, lingkungan hidup, administrasi kependudukan dan pencatatan sipil, pemberdayaan masyarakat dan desa, pengendalian penduduk dan keluarga berencana, perhubungan, komunikasi dan informatika, koperasi, usaha kecil dan menengah, penanaman modal, kepemudaan dan olahraga, statistic, persandian, kebudayaan, perpustakaan dan kearsipan. Urusan konkuren bersifat pilihan terdiri atas 8 urusan yaitu; kelautan dan perikanan, pariwisata, pertanian, kehutanan, energy dan mineral, perdagangan, perindustrian, dan transmigrasi. Selanjutnya, Urusan pemerintahan umum merupakan urusan yang menjadi kewenangan presiden sebagai pemegang kekuasaan pemerintahan.
Urusan umum dilimpahkan oleh presiden kepada gubernur sebagai kepala pemerintahan daerah provinsi, dan kepada bupati/walikota sebagai kepala pemerintahan kabupaten/kota. Diantara urusan umum tersebut adalah; pembinaan wawasan kebangsaan dan ketahanan nasional, pembinaan persatuan dan kesatuan bangsa, pembinaan kerukunan antar suku, ras, dan agama untuk kestabilan local dan nasional, penanganan konflik sosial, koordinasi pelaksanaan tugas antar instansi pemerintahan yang ada di provinsi dan kabupaten/kota, pengembangan kehidupan demokrasi, dan pelaksanaan semua urusan pemerintahanyang tidak dilaksanakan oleh pemerintah daerah dan instansi vertikal.
Pada era UU No.23 tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah, nenimbulkan keresahan bagi Pemerintah Daerah dikarenakan urusan kehutanan kembali ditarik oleh pemerintah pusat. Dari 6 (enam) sub urusan bidang kehutanan, kecuali konservasi sumberdaya alam hayati dan ekosistemnya, kewenangan kabupaten/kota sudah hilang. 5 (lima) sub urusan lainnya terkait kehutanan hanya sampai pada kewenangan provinsi. Khusus urusan perencanaan hutan dan pengawasan hutan, sudah diambil penuh oleh pemerintah pusat.
Saat ini kehadiran Undang-Undang Cipta Kerja menjadi sorotan oleh sebagian kepala daerah. Lagi lagi soal kewenangan daerah. Yang menjadi bahasan adalah kewenangan daerah yang terkesan ditarik ke level pusat. Kebijakan-kebijakan mengenai investasi dan ketenagakerjaan seolah diambil alih oleh pemerintah pusat
UU Cipta Kerja memang bertujuan untuk mempermudah regulasi dan perizinan demi merangsang investasi. Namun ada kesan menarik kewenangan daerah. Seperti soal analisis dampak lingkungan (Amdal) selama ini menjadi kajian yang dilakukan daerah.
Namun melalui omnibus law, pemerintah pusat membentuk lembaga kajian yang juga menyoroti dampak suatu usaha dan/atau kegiatan yang direncanakan pada lingkungan hidup.
UU Cipta Kerja Menyuguhkan fenomena tarik-menarik kpentingan (Spanning of interest) antara pusat dan daerah pada beberapa urusan pemerintahan.
Soal Minerba pada Pasal 5 UU No.3 tahun 2020,untuk urusan Lingkungan Hidup terdapat pada Pasal 63 ayat (1), ayat (2), dan ayat (3), Pasal 82 ayat (1) dan ayat (2). Urusan Tata Ruang dapat kita soroti pada Pasal 15 dan Pasal 34A. Untuk urusan ketenagakerjaan pada Pasal 88. Semua ketentuan tersebut sebelumnya adalah kewenangan daerah namun direncanakan ditarik kembali kepada pangkuan pemerintah pusat. Fenomena tersebut adalah fenomena arus balik sentralisasi.
Discussion about this post