UTUSANINDO.COM, JAKARTA – Anggota DPR RI dari fraksi PAN Guspardi Gaus mengkritik Permendikbudristek Republik Indonesia Nomor 30 Tahun 2021 tentang Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual di Lingkungan Perguruan Tinggi.
Menurutnya, Permendikbudristek Nomor 30 tahun 2021 jelas mengadopsi draft RUU Penghapusan Kekerasan Seksual (RUU P-KS) yang telah ditolak masyarakat luas di DPR periode 2014-2019 lalu, tegas Politisi PAN ini saat dimintai keteranggan oleh awak media,Minggu ( 7/11)
Dasar hukum dari terbitnya aturan tersebut juga tidak jelas, karena undang-undang yang menjadi cantolan hukumnya saja belum ada.
“Padahal Undang-undang No 12 tahun 2011 pasal 8 ayat 2 Tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan dinyatakan bahwa Peraturan Menteri bisa memiliki kekuatan hukum mengikat manakala ada perintah dari peraturan perundangan yang lebih tinggi, ujar anggota Baleg DPR RI itu
Peraturan Menteri (Permen) tersebut sangat jelas melampaui kewenangan. Pasalnya Panitia kerja (Panja) Badan Legislasi (Baleg) DPR RI saat ini masih membahas tentang RUU TPKS. Artinya, Permen ini melangkahi undang-undang serta tidak memiliki cantolan yuridis yang jelas dan spesifik.
“Jadi, apa dasar hukum yang menjadi landasan dikeluarkannya kebijakan tersebut”,ujar Guspardi yang juga merupakan anggota panja RUU TPKS.
Legislator asal Sumatera Barat itu menilai, filosofi dan muatan dalam peraturan menteri tersebut juga jauh dari nilai-nilai Pancasila dan cenderung pada nilai-nilai liberalisme, karena tidak berlandaskan kepada norma-norma agama.
Seperti penggunaan defenisi paradigma seks bebas berbasis persetujuan (sexual-consent) yang tidak didasarkan pada agama. Maknanya selama tidak ada pemaksaan (suka sama suka), berusia dewasa, dan ada persetujuan, maka aktifitas seksual menjadi halal, meskipun dilakukan di luar pernikahan yang sah.
Hal ini tentu berpotensi melegalkan dan menfasilitasi perbuatan zina dan jelas bertentangan dengan Pancasila dan norma agama. Ini tentu merupakan satu acuan peraturan yang jelas berbahaya.
Guspardi Gaus menambahkan betapa banyak terjadi hubungan seks di luar nikah yang diawali dengan persetujuan alias suka sama suka. Begitu pula bermunculannya perilaku lesbian, gay, biseksual dan transgender (LGBT) yang kian merebak di masyarakat. Padahal perilaku seks di luar nikah ataupun LGBT tidaklah dibenarkan dalam norma agama. Tak hanya itu, Permendikburistek 30/2021 seolah mengesampingkan proses hukum bila terjadi suatu kasus. Pasalnya, cenderung berfokus pada pengadilan internal dengan keberadaan satuan tugas (Satgas) di lingkungan kampus.
“Oleh karena bermasalah dari segi yuridis maupun filosofis, beleid yang ditandatangi Mas Mentri Nadiem pada 31 Agustus 2021 itu sebaiknya dicabut dan dibatalkan karena
berpotensi menjadi masalah dan memantik polemik di tengah masyarakat dalam implementasinya kedepan, ” pungkas anggota komisi II DPR RI tersebut.
Sebelumnya, diberitakan Sebanyak 13 Organisasi Kemasyarakatan (Ormas) Islam yang tergabung dalam Mejelis Ormas Islam (MOI) meminta Menteri Pendidikan, Kebudayaan Riset dan Teknologi Mencabut Peraturan Menteri No.30 Tahun 2021 Tentang Penanganan Kekerasan Seksual Di Lingkungan Perguran Tinggi. Hal ini karena dinilai peraturan tersebut telah meresahkan umat Islam.
Mejelis Ormas Islam (MOI) menilai bahwa Permendikbudristek no 30 tersebut secara tidak langsung telah melegalisasikan perzinahan dan akan mengubah dan merusak standar nilai moral mahasiswa di kampus, yang semestinya perzinahan itu kejahatan malah kemudian dibiarkan.
“Permendikbud ini telah menimbulkan keresahan di kalangan umat Islam pada khususnya dan bangsa Indonesia pada umumnya,” ujar Ketua Presidium MOI, KH. Nazar Haris, MBA.
Selain itu, pernyataan sikap penolakan juga datang dari Persatuan Umat Islam (PUI), Aliansi Cinta Keluarga (AILA) dan Gerakan Indonesia Beradab (GIB) yang menghimpun 203 organisasi masyarakat pengusung nilai-nilai Pancasila tentang Permen No 30 tahun 2021.
Discussion about this post