RIDHO A CHANIAGO, S.STP, M.Si
(Alumni Pascasarjana UNRI)
Sejak akhir tahun 2019 silam si covid sudah membidik dan melakukan estimasi jejak langkah selanjutnya untuk bertamasya ke beberapa negara. Jika kita abstraksikan sesuai dengan imajinasi kita, covid seakan akan sudah menuliskan daftar nama negara untuk dijadikan destinasi. Saya rasa si covid punya relasi dalam diplomasinya sehingga dia mencatumkan nama Indonesia sebagai destinasi yang asyik dan menyenangkan. Tentu saja, karena para pemimpin kita dan jajarannya sedari akhir tahun 2019 silam hingga awal tahun 2020 tampak menghimbau para wisatawan untuk datang ke Indonesia guna bertamasya riang gembira dan membidik beberapa investasi. Padahal saat itu covid sudah diduga lahir di Cina dan sudah touring ke beberapa negara. Ironinya, saat itu ada beberapa pejabat negara yang berkata covid tidak mungkin bisa masuk ke Indonesia karena suhu Indonesia tidak cocok untuk covid. Dan ada yang bilang penduduk Indonesia kebal dengan covid karena sering makan rempah-rempah, ramuan jamu, dan sebagainya. Nah, informasi ini sampai ke pendengaran si covid. Ya dengan langkah pasti si covid akan berkunjung ke Indonesia karena tuan rumah sudah memperbolehkan bahkan menghimbau. Saat itu si covid tahu dia akan diusir oleh emaknya dari rumah (negara Cina). Praduga Covid tidak salah untuk membidik tempat destinasi. Ternyata pemerintah Indonesia begitu ramahnya terhadap tamu dari luar yang diundang oleh pemerintah Indonesia sesuai dengan prediksi si Covid. Ini zaman canggih serba teknologi. Tentu saja si Covid menggunakan transportasi udara, darat, dan laut. Lalu mendaratlah ia di Nusantara. Bukan untuk belajar islam nusantara, tidak. Tapi hanya untuk bertamasya saja.
Sesampainya covid disalah satu pulau di Indonesia, lalu ia tidak langsung bermobilisasi atau berpindah tempat. Step by step dia lakukan karena tempat tinggalnya hanya dibeberapa tubuh manusia saja. Si covid lalu fokus membaca gaya main pemerintah. Dan ternyata saat itu pemerintah tidak memilih jalan lockdown/karantina wilayah sesuai dengan Undang-Undang Karantina Wilayah. Tentu saja jika lockdown dilakukan maka tanggungjawab akan kebutuhan masyarakat per individu menjadi tanggungjawab APBN. Tidak mungkin diimplementasikan karena disamping asumsi anggaran tidak cukup, terdapat prediksi buruk akan pertumbuhan ekonomi ketika lockdown diawal dilakukan walaupun beberapa pakar/tokoh nasional berasumsi bahwa anggaran cukup untuk lockdown jika proyek pembangunan (fisik) yang besar dialihkan dulu untuk fokus akan kebijakan preventif. Lalu pemerintah mencari upaya agar aktivitas ekonomi terus berjalan dan sektor riil ekonomi terus berputar. Dengan kebijakan protokol kesehatan yang terdiri atas anjuran memakai masker, mencuci tangan, menjauhi kerumunan, menjaga jarak, dan mengurangi mobilisasi diharapkan efektif saat itu sembari menunggu vaksin datang. Logika sederhana saja, sebagai makhluk sosial (Zoon Politicon) sebagaimana yang disampaikan oleh kakanda almarhum Aristoteles dulu, bahwasanya manusia tidak dapat hidup sendiri. Artinya, butuh usaha pergerakkan atau mobilisasi dengan melakukan transaksi dengan manusia lain untuk pemenuhan kebutuhan primer, sekunder dan tersier. Jika dianalisa sederhana dan lebih lanjut, kehangatan transaksi ekonomi sektor rill akan menjadi lancar jika pergerakkan manusia tidak dibatasi sehingga aktivitas produksi, distribusi, dan konsumsi tetap melaju kenjang bak roket yang melaju ke langit itu. Sementara pemerintah menginginkan ekonomi tak terganggu walaupun pergerakkan masyarakat dibatasi akbiat covid. Kalau bahasa orang Payakumbuh “it’s out of the mind” bukan “out of the box”, ini sangat sulit tercapai.
Beberapa bulan kemudian, datanglah obat dari mak si covid (negara cina) dan Prancis. Dengan stock terbatas maka dilakukan vaksinasi secara bertahap. Kali ini kita tidak membahas vaksin itu efektif dan cara ampuh atau tidak karena kita serahkan pada ahlinya yaitu tenaga medis dan lembaga berwenang. Walaupun fakta lapangan kita lihat orang sekitar kita tetap terkena covid walaupun sudah divaksin. Dan juga diantara para ahli terkait obat atau vaksinasi itu masih terdapat pro dan kontra. Namun kita fokus menganalisa secara akademis dalam konteks pengembangan kapabilitas kita dan kemampuan kognitif dalam menganalisa sebuah kebijakan.
Kita lihat bahwa dalam Undang-Undang Kesehatan pada pasal 5 ayat (3), jelas secara eksplisit (tegas) menjelaskan bahwa untuk setiap individu berhak memilih pelayanan kesehatan yang ingin ia peroleh. Artinya, setiap individu dalam masyarakat bisa saja mau untuk divaksin dan bisa saja untuk memilih tidak ingin divaksin. Tidak bisa dijadikan sebuah kewajiban untuk setiap warga negara. Demikian pandangan dari sisi normatif. Lalu kita lihat pada Perpres (Peraturan Presiden) Nomor 14 Tahun 2021 tentang Pengadaan Vaksin dalam Penanggulangan Viru Corona. Dimana intisari dari regulasi tersebut mewajibkan vaksin atas mereka yang ingin mendapatkan bansos, layanan pemerintah, pengurusan izin adminduk, dll,. Terlihat sebuah upaya paksaan kepada masyarakat untuk melakukan vaksinasi tersebut. Padahal WHO menganjurkan tidak adanya keterpaksaan.
Waktu terus berjalan dan si covid terus melakukan kunjungan tamasyanya sesuai list destinasinya yang terdiri dari beberapa provinsi di Indonesia. Begitulah fakta yang kita lihat. Urusan benar atau tidaknya covid ini terus bertambah kita serahkan saja pada pihak berwenang. Dalam melanjutkan destinasinya, dibeberapa provinsi si covid melihat bahwa kenginan kepala daerah atas suatu kebijakan tidak dapat restu dari pemerintah pusat. Tongkat komando masih dipegang oleh pemerintah pusat. Lalu keluarlah aturan tentang PPKM Mikro, PPKM darurat, PPKM Level 1-4, sebelumnya PSBB dan sebagainya. Kebijakan ini membuat masyarakat menjadi bingung. Mungkin bingungnya dari segi akronim/singkatan, makna dan orientasinya apa. Mungkin bingung karena pendapatan sudah turun drastis sedangkan bantuan sosial sulit didapatkan, mungkin bingung karena mau membuat resepsi nikah tapi takut tak dapat izin dan melanjutkan situasi jomblonya yang sangat perih itu. Tapi ya sudahlah itu mungkin wilayah privat. Dengan situasi demikian, pelaksanaan PPKM menurut sebagian pakar kesehatan dan pakar ekonomi, mereka berasumsi tidak berjalan efektif dengan mengukur dari beberapa indikator. Ya mungkin ini sah sah saja kalau dalam kajian akademis yang berbasis metodologi, fakta dan data.
Pada akhirnya hingga saat ini si covid masih bertahan, bermain, dan bergelut dengan inangnya di bangsa kita. Ia masih memberikan dampak buruk bagi sistem perekonomian baik secara makro maupun ekonomi sektor riil. Kita do’akan pemerintah terus berusaha untuk memberikan titik terang terhadap jalan keluarnya permasalahan ini. Sebagai manusia yang terus bersandar pada kekuatan Allah yang maha kuasa hendaknya selalu ikhtiar dan berdo’a. Ikhtiar kita hanya bisa dengan membantu sesama akan kebutuhan pokok terutama bagi mereka yang berdampak signifikan dengan prinsip gotong-royong dan rasa empati. Disisi lainnya, kita hanya sebatas menganalisa secara konteks akademis saja dan mengaitkan terhadap fenomena yang terjadi. Untuk sebuah solusi lebih lanjut, semua kita serahkan pada pemerintah. kita tentunya terbatas akan sebuah otoritas dan domain perlakuan. Hanya bisa melakukan distribusi ilmu pengetahuan dan informasi dalam upaya eskalasi pertumbuhan laju kognitif anak bangsa melalui sebuah narasi dan literasi. Semoga keadaan terus membaik. Kita hanya ingin melihat anak-anak bisa sekolah tatap muka kembali, pedagang kecil lancar berdagang, dan semua tampak memberikan senyuman.
Discussion about this post