UTUSANINDO.COM, JAKARTA – Kepala Departemen Kebijakan Sistem Pembayaran BI, Filianingsih Hendarta mengatakan, PBI yang baru ini memperkuat peran BI sebagai regulator di tengah meningkatnya tren ekonomi keuangan digital.
Indonesia menerbitkan payung hukum sistem pembayaran melalui Peraturan Bank Indonesia (PBI) No. 22/23/PBI/2020 tentang Sistem Pembayaran.
Hal itu merupakan implementasi dari Blueprint Sistem Pembayaran Indonesia (BSPI) 2025. Aturan tersebut mulai berlaku pada Juli 2021 mendatang, sembari menyiapkan aturan turunan yang lebih rinci dari PBI.
Tren digitalisasi yang semakin kompleks ini dibayangi oleh beragam risiko. Untuk itu perlu ada keseimbangan antara inovasi digital dengan mitigasi risiko.
“Namanya digitalisasi dan inovasi tidak datang sendiri, selalu datang dengan risiko yang perlu dimitigasi. Kenapa BI repot (membuat payung hukum)? Kita tidak mau kehilangan kesempatan (tren digitalisasi), tapi tidak mau juga mengganggu stabilitas sistem keuangan (akibat risiko yang muncul),” kata Filianingsih dalam konferensi virtual, Jumat (8/1/2021).
Filianingsih menuturkan, PBI yang baru ini didasarkan pada pendekatan berbasis aktifitas dan risiko, tidak pada pendekatan berbasis kelembagaan seperti aturan lama.
Karena sebagai payung hukum, pengaturannya pun mengedepankan principle-based regulation atau aturan dasar, bukan aturan terperinci dan detil.
Oleh karena itu, BI bakal menggandeng Self Regulatory Organization (SRO) sistem pembayaran.
“Karena mereka yang tahu dan ada di depan, lebih mengetahui apa kebutuhan industri. Mulai minggu depan kita akan konsultasi dengan perusahaan yang sudah mendapat izin dan perusahaan yang sedang mengajukan (izin),” sebut Filianingsih.
Aturan akan disesuaikan dengan dua kategori, yakni PBI penyedia jasa pembayaran (PJP) dan penyelenggara infrastruktur sistem pembayaran (PIP). Adapun klasifikasi sistem pembayaran terdiri dari 3 bentuk, yakni PSPS, PSPK, dan PSPU. (Kps)
Discussion about this post