Penulis: Sayid Af Ghani (Wartawan Muda)
UtusanIndo.com – Bulan Desember tanggal tua mengapung kesepian. Awan tipis dilangit biru mengudang hujan dan gemuruh petir. Meredupkan cahaya mentari menghilangkan bayangan puncak gunung kelabu. Terdengar irama musik tanjung katung berdendang menyambut kedatangan tamu. Senyum simpul mata berkunang menyentuh pipi sepasang pengatin di pelaminan.
Sedang duduk di pandangi tamu undangan, kedua mata Fatmawati menyipit dan menerawang jauh. Seakan ingin menembus bisingnya orgen tunggal. Namun Artis diatas pentas terus bersuara mengikuti Irma sepertinya ingin melemparkan senyum dan menyapanya. Namun dalam raut wajah Fatmawati tersemat kerutan yang tak mampu dipahami.
Dendang orgen pesta terus berlantun, Kedua mata Fatmawati masih menerawang ke depan. Di ujung pandangannya yang gelap itu tiba-tiba melihat sosok lelaki yang tak diundang berbaju kaus hitam bercelana levis. Lelaki itu datang menghampirinya. Sembari mengulurkan tangan ucapan selamat menempuh hidup baru.
Fatmawati merasakan tekanan yang sangat berat. Nafasnya menjadi sesak. Dadanya bagai dihimpit batu gunung yang sangat besar. Seolah tak memperdulikan Radig Lelaki yang menikahinya tadi malam berdiri di samping kananya memakai baju putih berjas Hitam mengenakan peci.
Hanyut, seolah Fatmawati tenggelam dalam pandangan masalalunya, ia merasakan kehadiran sosok lelaki yang tidak diundang itu menutupi pandangaan kepada ibu kandungnya sedang melerai air mata. Menutupi telinga dari suara sunduan dan isak tangis dari ibu lelaki yang baru menikahinya. Menjauh dan meninggalkan Radig sendirian duduk dikursi pelaminan.
Pemain orgen seolah memahami kondisi Radig. Lantunan tanjung katung berubah ke musik DJ. Serentak sudut mata tak lagi menghiraukan Radig yang sedang tersedendu menahan pilu.
Sapu tangan lipatan segi tiga yang ada di dalam saku kiri celana Radig menjadi saksi bisu pilunya perasaan ditinggalkan kekasih di atas pelaminan. Air mata jatuh membasai pipinya dan mengalir diwajah yang sudah dihiasi make-up dan hiasan pengantin.
Radig menyaksikan Fatmawati mengeser tempat duduknya ke arah kirinya, lalu berdiri dan melangkah didepanya, mengayunkan kaki tergesa menuju pintu rumah. Fatmawati meninghalkan panggung pelaminan tanpa mengucap sepatah katapun padanya. “mungkin istriku sedang ada perlu, makanya dia tergesa – gesa bejalan, ucapnya dalam hati”.
Pesta pernikahan Fatmawati dan Radig termasuk kategori sederhana, tenda berwarna biru terpasang di hadapan rumah Fatmawati. Tegak berdiri didepan pintu masuk rumah. Seluruh halaman dipenuhi kursi dan meja, tamu undangan diperkirakann bisa menampung 60 orang. Hidangan has daun ubi tumbuk menjadi menu faportit.
Radig duduk di kursi pelaminan sendirian, wajahnya mulai memerah, matanya mulai berkunang, pandangan mulai meredup. Fikiranya mulai gelisah, hatainya mulai ramuk. Pertanyaan kemana Fatmawati mucul, “sudah 15 menit istriku belum juga datang” sebutnya dalam hati.
Bersambung
Discussion about this post