UtusanIndo.com,(Padang)- Direktorat Jendral Otonomi Daerah (Ditjen Otda) saat ini tengah melakukan roadshow ke berbagai daerah untuk mendapatkan masukan terkait penyempurnaan regulasi pemilihan kepala daerah (Pilkada) serentak di masa mendatang. Tujuannya agar pelaksanaan dan hasil Pilkada menjadi semakin berkualitas demi kepentingan masyarakat banyak.
“Jadi kami tampung aspirasi dari semua daerah di Indonesia tentang pelaksanaan Pilkada, termasuk melibatkan pakar dari berbagai daerah,” ujar Plt Dirjen Otonomi Daerah Kemendagri Drs Akmal Malik,MSi dalam keterangan pers di Padang, Jumat sore (2/8/2019).
Menurut Akmal, kajian Pilkada Serentak dilaksanakan Ditjen Otda Kemendagri di sejumlah kota yakni Padang untuk wilayah Sumatera dan sekitarnya, Makassar untuk wilayah timur Indonesia dan Surabaya untuk wilayah Jawa dan sekitarnya.
Tidak menutup kemungkinan, hasil kajian tersebut menghasilkan regulasi tersendiri pada setiap daerah sesuai kearifan lokal. “Bisa jadi setiap daerah punya regulasi tersendiri sesuai kearifan local seperti di Aceh dan Jakarta,” jelasnya.
Kemendagri sendiri, lanjut Akmal, sudah memiliki tujuh kebijakan yang akan dilakukan dalam mendukung Pilkada serentak. Tiga diantaranya adalah penyiapan DP4, dukungan peningkatan partisipasi pemilih, serta penguatan regulasi dan koordinasi dengan Kementerian Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi serta Badan Kepegawaian Negara dalam menegakkan Netralitas ASN.
Sementara itu, Guru Besar Ilmu Pemerintahan Dalam Negeri (IPDN) Profesor Djohermansyah Djohan saat tampil sebagai narasumber Focus Group Discussion (FGD) Evaluasi Pilkada Serentak di Padang, Jumat (2/8/2019) mengatakan, untuk Pilkada Serentak 2020, aturannya tidak mungkin direvisi lagi karena akan segera memasuki tahapan Pilkada KPU.
Namun untuk pilkada serentak ke depan, regulasinya harus dikaji lebih cermat lagi karena banyak temuan yang akhirnya menurunkan nilai kualitas dari pilkada itu sendiri.
Dari hasil kajian selama ini, ada sejumlah masalah aktual Pilkada yang sering terjadi. Di antaranya mahalnya ongkos seorang kandidat, dana pilkada yang besar sehingga menggerus APBD, pecah kongsi antara kepala daerah dan wakil kepala daerah, politisasi birokrasi, politik dinasti, calon tunggal yang memborong dukungan partai politik, sampai masalah eks napi yang bisa ikut pilkada.
“Saran saya regulasi baru nanti bisa mengatur agar Pilkada serentak bisa dilaksanakan dengan prinsip memudahkan penyelenggara dan pemilih,” ujar mantan Dirjen Otda Kemendagri itu.
Pada forum yang sam , narasumber lain Leo Agustin dari Universitas Sultan Ageng Tirtayasa Banten berpendapat, sudah saatnya dibuat regulasi untuk mengakomodir pemungutan suara elektronik e-voting secara bertahap dalam momen pilkada serentak. Hal ini juga bertujuan agar pada saat pemilu serentak 2024 penerapan e-votong sudah diterapkan secara maksimal.
Sedangkan, pengamat politik Universitas Andalas (Unand) Padang, Dr Asrinaldi menjelaskan dari beberapa evaluasi terhadap Pilkada yang telah berlangsung., perlu diatur regulasi terhadap sistem politik parpol yang saat ini masih mendominasi.
Sangat jelas terlihat, Dewan Pimpinan Pusat parpol masih berkuasa terhadap daerah sehingga calon yang muncul bukan kehendak masyarakat tapi kemauan partai dan pemilik partai.
“Demokrasi lokal tidak terjadi, DPP masih menjadi momok bagi penentuan pemimpin di daerah. Sehingga berlomba mendapatkan restu pusat menunggu kartu sakti DPP,” ujarnya. (Relis)
Discussion about this post