UTUSANINDO.COM,(JAKARTA) – Kasus gizi buruk dan wabah campak yang tengah melanda Kabupaten Asmat, Papua, menunjukkan adanya hak dasar manusia yang belum terpenuhi. Pemerintah divonis gagal.
Kasus tersebut mengungkapkan hak penikmatan standar kesehatan tertinggi sebagai salah satu hak dasar setiap manusia belum dijamin secara optimal. Padahal Presiden Jokowi telah berikrar membangun Indonesia dari pinggiran.
Deputi Direktur Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat (Elsam), Andi Muttaqien mengatakan, Organisasi Kesehatan Dunia (World Health Organizatin/WHO) mendefinisikan hak atas kesehatan sebagai keadaan fisik, mental dan sosial yang lengkap, dan bukan hanya tidak adanya penyakit atau kelemahan.
“Pemenuhan hak kesehatan mensyaratkan adanya akses terhadap fasilitas dan layanan perawatan kesehatan yang memadai, serta tindakan negara yang tepat terkait dengan faktor penentu kesehatan seperti faktor sosial, ekonomi, makanan, air dan sanitasi, kondisi kerja, perumahan, dan kemiskinan,” katanya.
Selain itu, terdapat persinggungan antara hak atas kesehatan dengan dimensi hak asasi manusia lainnya, termasuk hak atas makanan, air, perumahan, pekerjaan, pendidikan, kehidupan, non-diskriminasi, privasi, akses terhadap informasi, larangan terhadap penyiksaan atau perlakuan yang kejam.
Bahkan, Komentar Umumnya 14, Komite untuk Hak-hak Ekonomi, Sosial dan Budaya Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) memberikan standar mengenai kewajiban penikmatan hak atas kesehatan, yang meliputi elemen ketersediaan, keteraksesan, dan kualitas. Ketiga elemen ini mensyaratkan keberadaan tenaga medis dan paramedis yang profesional dan terlatih dengan jumlah yang memadai.
Selain itu, pemerintah juga harus menjamin ketersediaan obat-obatan yang esensial, termasuk vaksin campuk. Elemen penting lainnya yang seharusnya menjadi perhatian pemerintah berupa keteraksesan fasilitas kesehatan yang dapat terjangkau oleh semua orang. “Peristiwa gizi buruk di Asmat, Papua, yang dibarengi wabah campak menunjukkan kegagalan pemerintah pusat maupun pemerintah daerah dalam menjamin penikmatan hak kesehatan secara bertahap maju (realisasi progresif),” kata Andi.
Tindakan reaktif yang diambil oleh pemerintah tentu belum mencukup untuk mengatasi tragedi kesehatan yang terus berulang terjadi di Papua.
Di samping itu, peristiwa di Asmat juga menunjukkan kegagalan pemerintah untuk menjamin hak atas pangan yang paling mendasar agar setiap warga negara bebas dari kelaparan dan kekurangan gizi. Komentar Umum 12, Komite untuk Hak Ekonomi, Sosial dan Budaya PBB menegaskan kewajiban pemerintah dalam menjamin hak atas pangan harus memperhatikan ketersediaan, aksesibilitas, dan keberlanjutan pangan.
Sementara itu, pemerintah juga terikat komitmennya untuk melaksanakan Agenda Tujuan Pembangunan Keberlanjutan (Sustainable Development Goals). “Namun, peristiwa di Asmat justru menunjukkan sebaliknya, karena pemerintah terancam gagal mewujudkan yang diniatkan dalam SDG untuk mengakhiri kelaparan, mencapai ketahanan pangan dan memperbaiki gizi,” terang Andi.
Sebelumnya, Presiden Jokowi memerintahkan pemerintah daerah di Papua memperhatikan masalah kesehatan masyarakatnya. Hal ini menyikapi kejadian luar biasa di Kabupaten Asmat, Papua, dimana gizi buruk plus campak memakan puluhan korban jiwa anak-anak.
“Seharusnya Pemda juga terus melihat, karena ini daerah-daerah itu memang sering kejadian-kejadian penyakit seperti itu,” kata Jokowi.
Presiden berharap Pemda sebagai pihak yang terdekat selalu memantau dan melihat kondisi masyarakat yang diperkirakan terjangkit penyakit atau gizi buruk. Meskipun demikian, Kementerian Kesehatan telah mengirim tim beberapa minggu lalu.
Menurut Jokowi, masalah kesehatan di Papua antara lain disebabkan akses dan medan yang berat. “Contoh di Nduga saja, siapa yang pernah ikut saya ke Nduga. Baru ke Wamena saja empat hari,” katanya (rmol)
Discussion about this post