UTUSANINDO.COM,(JAKARTA) – Tak melulu kepolisian kalah langkah dengan KPK. Dalam pengusutan kasus dugaan korupsi proyek reklamasi Teluk Jakarta, korps baju coklat menyalip komisi antirasuah. Penyidik Polda Metro Jaya sudah menemukan bau korupsi dalam proyek tersebut.
Kasus ini sudah ke tingkat penyidikan oleh Polda Metro Jaya sejak 3 November 2017. Hingga kini, penyidik terus mengusut dugaan korupsi pada penetapan nilai jual obyek pajak (NJOP) di Pulau C dan D. Kabid Humas Polda Metro Jaya Kombes Raden Argo Prabowo Yuwono menyebut, penyidik terus mengusut kasus ini lantaran sudah ada bau korupsi di dalamnya. “Iya dong. Kalau tidak, kami tidak selidiki,” tegasnya di Mapolda Metro Jaya. “Kasusnya bukan lagi penyelidikan, sebab sudah ada SPDP,” imbuh eks Kabid Humas Polda Jatim ini.
Penyidik telah memeriksa 15 orang saksi untuk menggali informasi indikasi korupsi proyek tersebut. Teranyar, Kamis (11/1) pekan lalu, penyidik Direskrimum Polda Metro Jaya memeriksa Kepala Dinas Penanaman Modal dan Pelayanan Terpadu Satu Pintu Pemprov DKI Jakarta Edy Junaedi. Dua hari sebelumnya, 9 Januari Dirkrimsus memanggil Kepala Dinas Cipta Karya Tata Ruang dan Pertanahan Pemprov DKI Jakarta Benni Agus Candra. Namun, keduanya tidak membawa dokumen lengkap.
“Kemarin panggil dua orang, kita masih belum dapat dokumen. Kita masih minta beberapa dokumen, misal dokumen rapat, karena belum diterima,” ungkapnya. Karena itu, penyidik akan melakukan pemanggilan ulang kepada keduanya. Para saksi yang sudah diperiksa, ditanyai penyidik seputar penentuan NJOP. Di antaranya, undang-undang dan regulasi yang digunakan. Kemudian siapa saja yang terlibat dalam penentuan NJOP itu. Lalu, di mana dan kapan penentuannya. Argo menyebut, pengusutan kasus ini membutuhkan waktu panjang. “Yang pasti saksi akan banyak dalam kasus ini. Masih panjang lah,” tandasnya.
Untuk diketahui, polisi sudah menyelidiki dugaan korupsi pada proyek reklamasi Teluk Jakarta sejak 14 September 2017. Mereka mengumpulkan bukti-bukti. Kemudian, meminta data dari Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP), Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan serta Kementerian Koordinator Kemaritiman.
Setelah melakukan gelar perkara pada 3 November 2017, kasus ini ditingkatkan ke penyidikan. Polisi menduga ada indikasi pelanggaran dalam penentuan NJOP Pulau C dan D. NJOP kedua pulau urukan tersebut ditetapkan DPRD melalui terbitnya surat keputusan 23 Agustus 2017. Dua pulau reklamasi itu dikembangkan PT Kapuk Naga Indah, anak perusahaan dari Agung Sedayu Grup.
NJOP dua pulau reklamasi itu diberi nilai Rp 3,1 juta per meter persegi. Penetapannya didasarkan pada kajian independen kantor jasa penilai publik. Diduga penetapan NJOP itu jauh di bawah perkiraan. Realisasinya, mencapai kisaran Rp 25 juta per meter hingga Rp 30 juta per meter. Karena itu diduga ada kerugian negara yang ditimbulkan. Korps bhayangkara pun menggunakan Pasal 3 atau Pasal 2 ayat 1 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana diubah dalam UU Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi dalam mengusut kasus ini. “Jadi saat ini yang dikenakan masalah korupsi. Pasal 2 dan 3 korup,” tegasnya.
Meski SPDP sudah terbit, namun belum ada tersangka. Kepolisian masih mencari ada tidaknya kerugian negara dalam kasus ini. Penyidik akan melihat beberapa aspek. “Apakah saat pelaksanaan lelang NJOP (nilai jual objek pajak) itu sesuai aturan atau tidak. Kami cek aturannya. Semua ada nilai jual, dan tidak boleh ada di bawah nilai objek pajak,” jelasnya.
Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan sendiri berniat mencabut Hak Guna Bangunan (HGB) para pengembang reklamasi. Anies beralasan, penarikan HGB agar tertib administrasi. Sebab izin HGB turun meski Perda Reklamasi belum selesai dibahas.
Ketika kepolisian dan Pemprov DKI tengah “melawan” reklamasi ini, KPK justru jalan di tempat. Akhir tahun lalu, komisi antirasuah membuka penyelidikan baru yang merupakan pengembangan dari kasus suap yang lebih dulu menjerat mantan Presiden Direktur PT Agung Podomoro Land (APL) Ariesman Widjaja, eks Anggota DPRD M Sanusi dan anak buah Ariesman, Trinanda Prihantoro. Ketiganya telah divonis bersalah terkait suap pembahasan Raperda Reklamasi. Sanusi divonis 7 tahun, Ariesman 3 tahun dan Trinanda 2,5 tahun. Jumat (27/10), KPK memeriksa Sektetaris Daerah (Sekda) Pemerintah Provinsi DKI Jakarta Saefullah. Saefullah mengaku dimintai keterangan untuk korporasi. “Reklamasi yang dipulau G itu terkait korporasinya,” ujar Saefullah.
Izin pelaksanaan Pulau G sendiri dikantongi oleh PT Muara Wisesa Samudera yang juga anak usaha PT Agung Podomoro Land. Kemudian, Selasa (31/10), KPK memeriksa Wakil Ketua DPRD DKI Jakarta, M Taufik. Taufik mengungkapkan penyelidik mempertanyakan soal peran korporasi yang menggarap reklamasi Pulau D dan G, yakni PT Agung Sedayu Group dan Agung Podomoro Land.
Juru Bicara KPK Febri Diansyah mengaku kasus ini masih berkaitan dengan kasus yang menjerat eks anggota DPRD DKI Jakarta, M Sanusi, dan Mantan Presiden Direktur PT Agung Podomoro Land, Ariesman Widjaja. “Setelah putusan pengadilan (kasus Sanusi dan Ariesman) untuk beberapa pihak dalam kasus suap pembahasan dua raperda (ini memang) sedang didalami,” tutur Febri. Dia enggan berspekulasi jauh karena kasus ini belum naik penyidikan. Menurut Febri, penyelidikan kali ini berdasarkan fakta-fakta yang muncul dalam persidangan sebelumnya.(rmol)
Discussion about this post