UTUSANINDO.COM,(JAKARTA) – Pakar Hukum Tata Negara Yusril Ihza Mahendra tak sepakat dengan aturan yang dibuat Menteri Agraria dan Tata Ruang (ATR)/Badan Pertanahan Nasional (BPN) Sofyan Djalil terkait pembatalan sertifikat HGB Pulau C, D dan G hasil reklamasi.
“Saya sendiri tidak sependapat dengan peraturan yang dibuat oleh Menteri Agraria yang memberi wewenang kepada dirinya sendiri untuk mencabut izin reklamasi dengan alasan kesalahan administrasi,” tegas Yusril dalam diskusi bertajuk ‘Reklamasi & Investasi’ melalui sambungan telepon, Jakarta Pusat, Sabtu (13/1).
Menurut Yusril, kesalahan administrasi bukanlah merupakan kesalahan dari pemohon, dalam hal ini Pemprov DKI Jakarta. Melainkan kesalahan dari Kementerian ATR/ BPN sendiri. Dalam hal ini BPN Kantor Wilayah DKI Jakarta.
“Masa misalnya kita punya sertifikat rumah yang merupakan warisan dari orang tua kita yang dibuat tahun 1995 misalkan tiba-tiba dibatalkan oleh BPN dengan alasan kesalahan administrasi. Mana kita tahu, itukan urusannya dia kalau kesalahan administrasi. Kita kan sebagai pemohon kan hanya tanya Pak BPN, masih ada nggak syarat-syarat yang kurang,” jelasnya.
Dikatakan Yusril, jika memakai aturan yang dibuat oleh Sofyan Djalil, BPN sebenarnya berwenang mencabut sertifikat itu, namun pencabutan tersebut kata dia tidaklah mudah karena pemberian izin sertifikasi sudah dilakukan dengan benar. Dimana HGB itu diberikan kepada pengembang atas persetujuan dari Pemprov DKI Jakarta sebagai pemilik Hak Pengelolaan Lahan (HPL).
“Jadi jawaban BPN itu sudah betul bahwa mereka sudah menerbitkan sertifikat sesuai ketentuan hukum yang berlaku, sesuai prosedur. Tidak mungkin BPN akan menerbitkan HGB tanpa adanya persetujuan dari yang punya HPL. Mustahil itu diterbitkan,” imbuhnya.
Diketahui proyek reklamasi pantai sebenarnya disetujui oleh Gubernur DKI Jakarta periode sebelumnya. Namun, saat berkuasa, Gubernur DKI yang baru, Anies Rasyid Baswedan malah meminta proyek yang dilimpahkan pemerintah pusat ke Pemprov DKI itu dibatalkan dengan alasan bahwa belum ada peraturan daerah (Perda) yang mengatur soal zonasi dan Perda tentang Tata Ruang disitu.
Yusril mempertanyakan alasan itu. Pasalnya menurut dia, satu keputusan hanya bisa dibatalkan jika bertentangan dengan undang-udang yang berlaku dan peraturan perundang-undangan yang baik.
“Nah kalau bertentangan dengan sesuatu yang belum ada, nah ini bagaimana. Perda Tata Ruang dan Perda Zonasi kan belum ada. Bagaimana kalau mengatakan itu salah kalau sesuatu itu belum ada. Masih dalam angan-angan, dalam pikiran. Pemerintah nggak bisa berjalan kalau begitu, bisa jadi Abu Nawas kalau begitu,” urainya.
Dia pun mewanti-wanti bahwa pengembang bisa saja menuntut melalui meja hijau jika sertifikat HGB yang sudah dikeluarkan malah dibatalkan oleh Kementerian ATR/ BPN (rmol)
Discussion about this post