UTUSANINDO.COM,(JAKARTA) – Ada beberapa catatan kritis Federasi Serikat Guru Indonsia (FSGI) terkait pendidikan Indonesia sepanjang 2017, dalam keterangan tertulis kepada redaksi Utusanindo (utusanindo.com), Selasa( 26/12/2017).
(1) Kebijakan Sistem Zonasi dalam Penerimaan Peseta Didik Baru (PPDB) yang langsung diterapkan 100% di seluruh Indonesia;
(2) Kebijakan kontroversi “Lima Hari Sekolah”yang populer dengan istilah Full Day School;
(3) Kekerasan di pendidikan yang semakin masif dan mengerikan, baik yang dilakukan sesama siswa maupun dilakukan guru;
(4) Kasus buku pelajaran yang menuai kontroversi lantaran lemahnya kontrol dan penilaian buku oleh Puskurbuk Kemdikbud RI;
(5) Kualitas pendidikan Indonesia yang masih jeblok menurut indikator PISA, namun Mendikbud bukannya menjadikan sebagai evaluasi menyeluruh, tapi malahan mengkambinghitamkan anak-anak NTT;
(6) Tunjangan Profesi Pendidik (TPP) yang terus bermasalah penyalurannya.
Pertama, Kebijakan Sistem Peneriman Peserta Didik Baru (PPDB) dengan sistem zonasi yang menuai banyak masalah di daerah, karena diberlakukan menyeluruh di Indonesia tanpa melalui pertimbangan data kecukupan sekolah negeri di suatu lokasi yang ditentukan sebagai zonasi. Kebijakan dituangkan dalam Permendikbud 17 tahun 2017 tentang sistem PPDB.
Kebijakan Sistem PPDB dengan zonasi menuai banyak masalah terutama di daerah. Banyak kabupaten/kota yang ternyata hanya sedikit sekolah negerinya. Ketika zonasi dilakukan, maka ada beberapa kecamatan yang tidak memiliki sekolah negeri, misalnya Gresik, Akibatnya, anak-anak di kecamatan tersebut hanya memiliki peluang 5% saja diterima di sekolah negeri dari kecamatan yang terdekat. Ketentuan batas usia maksial dalam sistem PPDB online juga membuat sejumlah siswa di Tangerang tidak diterima di SMPN 3 karena usianya sudah lebih dari 15 tahun meskipun nilainya tinggi dan tempat tinggalnya berada di zona ring satu.
Selain itu, PPDB di Sumatera Utara, khususnya kota Medan, ternyata meninggalkan sejumlah masalah yang belum selesai hingga sekarang, karena akibatDinas Pendidikan Sumatera Utara yang mengijinkan penerimaan tambahan siswa di luar sistem PPDB online. Kasus yang terkuak adalah SMAN 2 dan SMAN 13 kota Medan.Kedua sekolah tersebut menerima siswa tambahan di luar sistem PPDB online, akhirnya ada tambahan 180 siswa atau 5 kelas di SMAN 2 kota Medan yang masing-masing siswa dikenai biaya Rp 10 juta/orang. Belakangan 180 siswa ini kemudian dianggap ilegal dan dipindahkan ke SMA swata.
Sedangkan di SMAN 13 kota Medan jumlah siswa yang diterima jalur non PPDB online mencapai 70-an siswa dan belakangan juga bermasalah dan terancam dikeluarkan atau dipindahkan ke sekolah swasta lain.
Kasus ini perlu dievaluasi agar menjadi perhatian bersama untuk tidak terulang kembali karena melanggar pemenuhan hak anak atas pendidikan. Atas kasus ini tidak ada tindakan apa-apa dari birokrasi terhadap kepala sekolah dan kepala dinas pendidikan provinsi Sumatera Utara, mustahil rasanya sekolah begitu berani menerima ratusan siswa di luar sistem PPDB online tanpa diketahui atasan kepala sekolah.
Kedua, Kebijakan yang popular dengan istilah FULL DAY SCHOOL yang kemudian memicu kontroversi selama berbulan-bulan karena Mendikbud memulainya dengan mengeluarkan Pernyataan Full Day School yang selanjutnya dituangkan dalam Permendikbud Nomor 23 Tahun 2017 tentang Lima Hari Sekolah. Pro kontra kemudian diakhiri oleh Presiden dengan mengeluarkan Peraturan Presiden No. 87 Tahun 2017 tentang Penguatan Pendidikan Karakter (PPK).
Selain itu, penilaian PPK yang langsung wajib diimplementasikan tahun ajaran 2017/2018 juga menimbulkan kesulitan tersendiri bagi guru dan sejumlah sekolah. Misalnya, hampir di seluruh SMA unggulan di kota Mataram, NTB tidak bisa bagi rapor pada sabtu, 16 Desember 2017 lantaran para guru kesulitan menyelesaikan proses penilaian yang sangat rumit.
Implementasi PPK oleh guru-guru di sekolah banyak mengalami kendala. Dikarenakan sangat minimnya guru mendapatkan pelatihan dari pemerintah, apalagi pelatihan terkait pengintegrasian PPK dalam Kurikulum 2013. Sehingga PPK tersebut hanya sekedar muncul secara administratif dalam dokumen Rencana Pelaksanaan Pembelajaran (RPP) guru. Tapi sukar bahkan tidak dalam implementasinya.
Karena yang terjadi penilaian sikap yang merupakan implementasi PPK justru mengalami reduksi makna, sebab guru-guru melakukan penilaian PPK terkesan “asal-asalan”. Karena terkait dengan mendesaknya waktu untuk menginput nilai, apalagi bagi sekolah yang sudah menggunakan erapor. Model erapor ini yang tiap tahun berubah ditambah sangat minimnya sosialisasi dan pelatihan, berakibat kualitas penilaian yang dilakukan guru-guru bersifat kurang otentik bahkan kurang valid.
Misalkan seorang guru agama & PPKn mesti menilai belasan indikator sikap spritual dan sikap sosial untuk satu orang siswa. Seorang guru bisa mengajar 10 kelas (bahkan lebih). Satu kelas diisi oleh sekitar 25-35 siswa. Jadi seorang guru harus menilai indikator sikap spritual dan sosial untuk sebanyak 300 siswa sekali nilai. Bayangkan betapa beratnya penilaian yang dilakukan, padahal penilaian tidak hanya urusan aspek PPK saja. Tapi ada penilaiaan penugasan, praktik, pengetahuan, keterampilan, projek dan lainnya.
Ketiga, Kekerasan di Pendidikan yang semakin masif dan mengerikan.Di Sukabumi, siswa kelas 3 SD yang bernama SR (9 tahun) tewas setelah terlibat perkelahian dengan temannya di belakang sekolah. Meski berdasarkan hasil otopsi, kematian SR bukan disebabkan oleh pukulan temannya, akan tetapi pukulan tersebut mengakibatkan SR terjatuh dan pingsan. Karena SR memiliki sakit bawaan berupa pengentalan darah, maka posisi jatuh tersebut mengakibatkan darah yang kental tidak bisa mengalir secara lancar.
Di Lombok Barat, KPAI dan SGI Mataram pernah menerima laporan terkait kasus pemukulan terhadap sejumlah siswa yang kerap dilakukan oleh seorang oknum guru. Bahkan, kekerasan tersebut diam-diam ada yang merekam dan menjadi barang bukti. Uniknya, guru tersebut justru menjadi “andalan” kepala sekolah dalam menertibkan para siswa. Kepala Sekolah justru sangat menaruh hormat dan kebanggan terhadap guru tersebut.
Beberapa video kekerasan di sekolah juga sempat viral di media sosial, karena ada yang mengunggah. Misalnya video dari salah satu daerah terpencil di Maluku, video yang beredar tersebut memperlihatkan empat siswi sedang ditampar oleh seorang guru yang juga perempuan. Atau video kekerasan pemukulan terhadap seorang siswa yang cukup sadis di salah satu sekolah di Pontianak yang dilakukan di dalam kelas. Video-video tersebut sempat viral di media sosial dan menjadi berita juga di beberapa media massa. Saat ini, dengan kemajuan teknologi, maka apapun yang terjadi meski di daerah terpencil dapat diketahui publik.
Di luar sekolah, tetapi masih melibatkan siswa junior, siswa senior dan alumni juga terjadi beberapa peristiwa adu tarung gladiator, bahkan mengakibatkan korban tewas. Misalnya, kasus gladiator Bogor yang melibatkan siswa dan alumni dari SMA Budi Mulia dan SMA Mardiyuana menewaskan Hilarius. Kasus serupa juga terjadi di kota Sukabumi yang melibatkan SMP 6 dan SMP Muhamadiyah kota Sukabumi, meskipun tidak ada korban meninggal, namun video tarung gladiator yang beredar di media sosial sngat mengerikam. Bahkan yag terakhir, terjadi di Rumpin, Kabupaten Bogor yang menewaskan MRS karena luka bacok dan mengakibatkan korban kehabisan darah. Adu gladiator ini melibatkan siswa SMP dari SMP Asy dan SMP A di Rumpin, kabupaten Bogor.
Sejumlah kekerasan yang dilakukan guru terhadap siswanya juga terjadi di beberapa sekolah, misalnya kasus siswa di sebuah sekolah di Tangerang yang di hukum push-up kemudian ditendang oleh oknum guru di dalam kelas. Ada juga video oknum guru SD menjewer telinga siswanya hingga memerah dan sang murid nampak kesakitan. Dalam video lain, ada oknum guru yang menampar siswanya satu persatu setelah memeriksa buku hasil kerja siswanya.
Keempat, Kasus buku pelajaran yang menuai kontroversi lantaran lemahnya kontrol dan penilaian buku oleh Pusbukkur Kemendikbud RI. Ada sejumlah masalah terkait buku pelajaran seperti lolosnya buku berisi ajaran radikalisme, buku yang berisi konten kekerasan dan pornografi. Terakhir yang sangat heboh adalah kekeliruan penulisan buku IPS SD kelas VI terkait penyebutan Yerusalem sebagai ibukota Israel, ini sangat memprihatinkan karena buku tersebut lolos penilaian perbukuan dalam program “bse” (buku sekolah elektronik) oleh pusat perbukuan Kemdikbud RI.
Selain itu, juga ditemukaan buku yang diduga kuat berisi konten yang mengkampanyekan LGBT dengan judul “Balita Langsung Lancar Membaca”, yang ditulis oleh Intan Noviana dan diterbitkan oleh Pustaka Widyatama. Buku ini viral setelah seorang pemilik akun twitter bernama Yhanuar Purbokusumo mengeluhkan isi buku yang dibelinya untuk sang anak ternyata berisi kata-kata “ada Waria Suka Wanita” atau “Widya dapat menikahi Vivi”, dan sebagainya.
Kelima, Kualitas pendidikan Indonesia yang masih jeblok meurut indikator PISA, namun Mendikbud bukannya menjadikan sebagai evaluasi menyeluruh, tapi malahan mengkambinghitamkan anak-anak NTT.
PISA adalah singkatan dari Programme for International Students Assessment. Program ini digagas oleh the Organisation for Economic Co-operation and Development (OECD). OECD melakukan evaluasi berupa tes dan kuisoner pada beberapa negara yang ditujukan pada siswa-siswi yang berumur 15 tahun atau kalau di Indonesia sekitar kelas IX atau X.Dari hasil tes dan evaluasi PISA yang termutakhir, performa siswa-siswi Indonesia masih tergolong sangat rendah. Berturut-turut rata-rata skor pencapaian siswa-siswi Indonesia untuk sains, membaca, dan matematika berada di peringkat 62, 61, dan 63 dari 69 negara yang dievaluasi. Peringkat dan rata-rata skor Indonesia tersebut tidak berbeda jauh dengan hasil tes dan survei PISA terdahulu pada tahun 2012 yang juga berada pada kelompok penguasaan materi yang sangat rendah. Materi yang dievaluasi adalah sains, membaca, dan matematika.
Bukti ini menunjukkan bahwa performa pendidikan nasional kita belum beranjak naik signifikan. Program literasi nasional yang dikembangkan pemerintah relatif bersifat formalitas dan administratif belaka. Buku-buku yang berkualitas belum hadir di perpustakaan-perpustakaan sekolah. Budaya baca bagi guru masih belum berkembang. Sehingga akses literasi guru dan siswa jauh dari kata sempurna, apalagi jikalau bicara budaya membaca, rasanya masih jauh.
Keenam, Tunjangan Profesi Pendidik (TPP) yang kerap disebut tunjangan sertifikasi terkait perubahan kode mata pelajaran akibat kebijakan Kurikulum 2013, yang banyak menimpa para guru SMK, seperti Kepala SMK dan para guru SMK.
Sosialisasi konversi mata pelajaran (mapel) kurang mendalam sehingga ada salah persepsi di beberapa rekan dan operator, beberapa diantaranya ada yang berpersepsi semua peserta setifikasi 2007 s.d 2009 harus konversi mapel, padahal tidak harus semua.
Banyak guru SMK terutama mata pelajaran produktif mendapatkan SK tunjangan profesi yang memiliki tenggat waktu 1 bulan yaitu bulan juni 2017, sehingga muncul persepsi hanya cair satu bulan dari masa pencairan Januari s/d Juni. Seharusnya menerima 6 x gaji pokok, tetapi akhirnya di Tasikmalaya banyak guru dan Kepala Sekolah SMK hanya mendapat 1 bulan TPP, artinya tunjungan yang 5 bulan tidak cair. Ditanyakan di Unit Layanan Terpadu Kemdikbud, jawabannya itu berlaku untuk 6 bulan januari sampai Juni, namun semuanya diserahkan kepada pengelola di Disdik Provinsi tentang pencairannya.
Rekomendasi FSGI Untuk 6 catatan Pendidikan
Pertama, pemerintah mesti melakukan pemetaan yang utuh, valid dan komprehensif terkait jumlah terkait pembagian zonasi sehingga, kecamatan yang tak memiliki sekolah negeri mendapatkan akses yang sama utuk bersekolah di negeri. Pemerintah haru memiliki data yang pasti terkait sekolah negeri yang terdapat di suatu kecamatan atau zona tersebut. Oleh karena itu sudah seharusnya pemerintah pusat melakukan sosialisasi dengan waktu yang cukup atau jauh-jauh hari yang melibatkan seluruh kepala dinas se-Indonesia, baik di tingkat kabupaten/kota maupun provinsi.
Kedua, pemerintah mesti melakukan evaluasi sistem penilaian berbasis PPK dalam Kurikulum2013, karena kurangnya sosialisasi, waktu yang mepet menginput nilai dan banyaknya indikator untuk mengukur sikap spiritual dan sosial, sehingga penilaian terkesan asal-asalan dan kurang valid. Harus ada model erapor yang mempermudah guru dalam menginput nilai, bukan malah sebaliknya seperti yang terjadi sekarang.
Ketiga, guru-guru harus diberi pelatihan cara mencegah dan menangani kekerasan di sekolah, karena banyak guru dan kepala sekolah gagap dalam menghadapi kekerasan di sekolah. Selain itu pemerintah harus melakukan percepatan dan sosialisasi program sekolah ramah anak.
Kempat, pemerintah harus memberdayakan Pusat Kurikulum dan Perbukuan untuk melaksanakan tugas dan fungsinya untuk mengontrol buku-buku pelajaran agar berkualitas agar tidak mengandung konten kekerasan, pornografi, dan radikalisasi.
Kelima, program literasi harus diperkaya dengan pelatihan pengelolaan kelas literasi bagi guru sehingga guru-guru dapat menerapkannya di kelas dan sekolah. Kemudian guru-guru harus difasilitasi pemerintah terkait buku-buku berkualitas agar dapat mendorong budaya baca dan literasi di kalangan guru sehingga mendorong budaya baca para siswa. Agar program literasi pemerintah tidak hanya sekedar formalitas dan tidak mengkambinghitamkan provinsi NTT terkait rendahnya indikator penilaian PISA.
Keenam, bahwa pemerintah harus belajar dari kebijakannya agar tidak merugikan guru. Kebijakan pemerintah harus dipikirkan matang terutama terkait sinkronisasi data antar direktorat (Dirjen GTK) dan (Dikmen), sehingga kasus ratusan guru SMK yang tidak cair tunjangan profesinya selama beberapa bulan karena perubahan kode mata pelajaran, tidak terulang tahun lagi.
Demikian Catatan Akhir Tahun Pendidikan Sepanjang 2017 oleh FSGI. Semoga kualitas dan perbaikan pendidikan kita ke depan menjadi lebih terwujud.
Jakarta, 26 Desember 2017
Heru Purnomo (Sekjen FSGI), Satriwan Salim (Wasekjen FSGI/Ketua Umum SEGI Jakarta)
Discussion about this post