UTUSANINDO.COM,(JAKARTA) – Penolakan Amerika Serikat terhadap Panglima TNI Jenderal TNI Gatot Nurmantyo masih diselubungi misteri. Sejauh ini, pernyataan resmi Pemerintah AS baru berisi penyesalan dan permintaan maaf.
Itu pun yang menyampaikan baru Wakil Duta Besar AS untuk Indonesia, Erin Elizabeth McKee. Sedangkan Dubes AS mengutarakan permintaan maaf lewat pernyataan tertulis Kedutaan Besar AS yang dimuat di situs resmi mereka.
Beberapa kalangan menilai penolakan terhadap Gatot oleh U.S. Customs and Border Protection itu sangat berbau teknis. Diyakini, kesalahan sepenuhnya ada di AS, terbukti dengan permintaan maaf dari Kedubesnya di Jakarta. Ada pula yang menghubungkan track record Gatot di dalam negeri yang dekat dengan kelompok agama dan ultra nasionalis yang meresahkan kepentingan AS di Indonesia.
Yang jelas, tidak sedikit juga publik yang mengkaitkan penolakan itu dengan persaingan politik yang begitu terasa di dua tahun menjelang Pemilihan Presiden dan Wakil Presiden RI (periode 2019-2024).
Penolakan oleh AS menjadi “a blessing in disguise” bagi Gatot, yang namanya memang sedang melambung di kancah perpolitikan nasional. Tak lama setelah insiden dengan AS diberitakan, muncul dukungan yang cukup besar kepada mantan KSAD itu di media sosial lewat berbagai meme.
Dua pekan terakhir ini, nama Gatot Nurmantyo bertengger dalam jajaran tokoh yang disurvei lembaga-lembaga riset politik untuk mengetahui tingkat elektabilitas calon yang dianggap berpotensi maju pada Pilpres 2019.
Sebut saja Saiful Mujani Research and Consulting (SMRC) dan Lembaga Survei Roda Tiga Konsultan (RTK). Bahkan Direktur Eksekutif SMRC, Djayadi Hanan, menyatakan, nama Gatot telah muncul sejak Mei 2017. Hanya, dukungan terhadapnya masih di bawah 2 persen, jauh di bawah Prabowo dan Jokowi.
Sedangkan Direktur Riset RTK, Rikola Fedri, mengatakan, Gatot Nurmantyo dan Agus Harimurti Yudhoyono masuk dalam bursa tokoh yang pantas melaju sebagai calon wakil presiden potensial untuk Pilpres 2019. Apabila diberi pilhan nama, maka pilihan untuk Agus Harimurti Yudhoyono mendapatkan 14,3 persen; Gatot Nurmantyo 10,8 persen.
Tentu itu adalah modal dasar yang cukup baik bagi Gatot. Selama ini sudah muncul kecurigaan bahwa Gatot akan habis-habisan memanfaatkan momentum akhir masa jabatannya di TNI untuk melambungkan popularitas dan elektabilitasnya.
Siapa yang paling terancam? Jika melihat fakta bahwa latar belakang militer masih menjadi faktor penarik bagi masyarakat dalam memilih calon pemimpin, tentu Gatot berpotensi menggerus elektabilitas dan popularitas Prabowo Subianto. Belum lagi jika menghitung kekuatan Agus Harimurti Yudhoyono.
“Ancaman” Gatot terhadap Prabowo sudah terlihat dari perannya mewarnai rangkaian aksi massa kelompok Islam sejak Desember 2016. Nama Gatot, dengan deretan pernyataannya sebagai panglima tentara yang cenderung “melindungi” kelompok demonstran, lebih mendominasi dibandingkan Prabowo.
Namanya kembali hangat dibicarakan publik ketika ia menginstruksikan seluruh prajurit TNI menggelar nonton bareng film G30S/PKI bersama masyarakat umum di seluruh Indonesia. Setiap kontroversi dan kritik dijawabnya dengan tegas bahwa ia masih menjabat Panglima TNI yang berkuasa menggerakkan prajurit.
Politik adalah seni kemungkinan. Apalagi di era kemajuan informasi teknologi, di mana citra dan kenyataan bisa diolah begitu rupa hingga seolah tiada lagi batasnya.
Terlalu gegabah untuk memvonis Gatot Nurmantyo mustahil menggantikan posisi Prabowo sebagai calon lawan kuat Jokowi, demikian juga sebaliknya.
Atau, malah Jokowi kini merasa sangat beruntung karena menemukan sosok yang pantas untuk mendampinginya berlaga di Pilpres 2019. [Rmol)
Discussion about this post