UTUSANINDO.COM,(JAKARTA) – Video perkelahian ala gladiator kembali terjadi setelah kasus serupa di Bogor yang menewaskan Ananda HL. Kali ini melibatkan siswa Sekolah Menengah Pertama (SMP) di Kota Sukabumi. Video tersebut menyebar luas di jejaring media sosial (medsos) Facebook dan YouTube. Ada dugaan, pembuat dan penyebar video tarung gladiator Sukabumi adalah penonton yang kemungkinan besar siswa senior atau para alumni kedua sekolah tersebut.
“KPAI memberikan apresiasi kepada Satreksrim Polres Sukabumi Kota yang bertindak cepat untuk melakukan pengusutan, dengan memeriksa belasan siswa dari dua SMP yang diduga terlibat dalam duel ala gladiator di dalam video tersebut,” ujar Retno Listyarti, Komisioner KPAI bidang Pendidikan.
Namun, lanjut Retno “Dalam melakukan pemerikasaan para siswa SMP tersebut, KPAI mengingat pihak kepolisian untuk mempergunakan UU Perlindungan Anak dan UU Sistem Peradilan Pidana Anak (SPPA). Video yang diduga dibuat pada 22 September 2017 tersebut melibatkan satu SMP Negeri dan satu SMP swasta yang letaknya relative berdekatan.
Para pelaku tarung gladiator harus juga di lihat sebagai korban, karena anak-anak tersebut mengaku kepada pihak sekolah, selepas zuhur dijemput oleh alumni dan diajak ke suatu tempat. Sesampainya di sana siswa ini disuruh berkelahi satu lawan satu, katanya biar disebut jagoan. Anak-anak tersebut diduga “dipaksa” bukan atas kemauan sendiri. Kalau menolak, biasanya akan terus dijadwalkan ulang sampai yang bersangkutan tak lagi bisa menolak.
Kasus Gladiator Bogor juga melibatkan alumni ditambah dengan siswa senior di kedua SMA swasta tersebut, kasus tarung ala Gladiator di Sukabumi kemungkinan juga melibatkan peran siswa senior di kedua SMP tersebut yang memang bertugas mengkader dan mencari calon petarung.
“KPAI tentu berhaharap agar polisi juga mengungkapkan para siswa senior dan alumni yang diduga terlibat dalam duel Gladiator ini, kepentingannya untuk memberikan efek jera sekaligus memutus mata rantai kekerasan yang terjadi,”Ujar Retno.
Hasil pengungkapan kepolisian akan menjadi dasar bagi pihak sekolah melakukan upaya-upaya pembenahaan dan mendorong terwujudnya Sekolah Ramah Anak (SRA). Sekolah harus mampu bersinergi dengan para orangtua siswa di sekolahnya untuk mewujudkan SRA dan memutus mata rantai kekerasan. “Keterlibatan siswa senior dan alumni sebagai pelaku kekerasan dan pemaksaan untuk tarung gladiator haruslah di selesaikan dengan sungguh-sungguh dan tuntas oleh pihak sekolah dengan melibatkan orangtua siswa dan dinas pendidikan setempat,” urai Retno.
Orangtua, sekolah dan masyarakat harus memiliki persepsi yang sama tentang bahayanya bullying dan kekerasan dalam tumbuh kembang seorang anak. “Orangtua dan guru harus memiliki kepekaan ketika menemukan anak-anak korban bullying yang biasanya tampak murung, prestasi belajarnya menurun dan tidak percaya diri. Masyarakat juga jangan “cuek” atau tidak peduli ketika menyaksikan kekerasan yang melibatkan anak-anak. Diperlukan peran semua pihak untuk menciptakan sekolah yang aman dan nyaman bagi anak didik,” pungkas Retno. (rel)
Discussion about this post