UTUSANIndo.com,(PAPUA) – Badan Reserse Kriminal (Bareskrim) Polri mengusut dua kasus dugaan korupsi terkait pemberian kredit Bank Pembangunan Daerah (BPD) Papua kepada PT Sarana Bahtera Irja (SBI) dan PT Vita Samudra (PT VS).
Kepala Bareskrim Polri Komisaris Jenderal Ari Dono Sukmanto mengungkapkan, kasus ini terjadi pada periode 2013-2014. “Terindikasi terjadi penyimpangan dalam proses pemberian kredit kepada dua debitur yaitu PT SBI dan PT VS dari BPD Papua,” ujar Ari.
Berdasakan hasil audit Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) pada penyaluran kredit kepada PT SBI, kerugian negara mencapai Rp 270 miliar. Sedangkan penyaluran kredit kepada PT VS merugikan negara Rp 89 miliar. Total kerugian negara Rp 359 miliar.
Penyimpangan kredit kepada kedua perusahaan terjadi mulai tahap analisis, persetujuan hingga pencairan dana pinjaman. Dana pinjaman digunakan untuk kepentingan pribadi. Akibat berbagai penyimpangan itu, kredit yang diberikan kepada kedua perusahaan itu akhirnya macet.
Polisi menetapkan bekas Direktur Utama Bank Papua, Johan Kafiar, sebagai tersangka. “Juga dari pihak swastanya, debitur atau corporate-nya bakal segera kami jerat,” tegas Ari.
Sejauh ini, polisi telah menyita sejumlah aset yang terkait dengan kasus. Di antaranya empat kapal kargo milik perusahaan. Kapal itu telah dilelang untuk menutupi kerugian negara.
“Kalau hanya sekadar disita, dibiarkan begitu saja di pelabuhan, justru memakan biaya besar karena menggunakan uang negara. Salah satu cost-nya pasti masuk dalam biaya pengeluaran pengamanan barang bukti,” jelas Ari.
Polisi masih menelusuri aliran dana kredit yang diberikan kepada PT SBI dan PT VS.
Kemarin, Anggota VII BPK Eddy Mulyadi datang ke Bareskrim untuk menyerahkan hasil audit penyimpangan kredit di Bank Papua. “Kalau BPK diminta penegak hukum, pasti terkait kerugian negara. Jadi ini permintaan Kabareskrim menyelesaikan kasus bank daerah, jadi ada kerugian dari penilaian analisis dan persetujuan kredit yang menyimpang yang akhirnya macet,” kata Eddy.
Eddy menjelaskan ada dua kasus yang ditangani Bareskrim terkait dengan pemberian fasilitas kredit Bank Papua kepada PT SBI dan PT VS.
Berdasarkan hasil audit BPK, Bank Papua menyalurkan kredit dengan plafon Rp 313,29 miliar kepada PT SBI. Terdiri dari 8 kredit investasi dan 1 kredit modal kerja (KMK).
Sementara kredit yang disalurkan kepada PT VS pada 2013 mempunyai plafon Rp 111 miliar. Terdiri 2 kredit modal kerja (KMK).
Dalam laporan hasil audit, BPK menemukan ada penyimpangan pada proses analisis dan persetujuan kredit. Petugas analisis tidak melakukan kunjunganon the spot. Kemudian ada rekayasa data keuangan calon debitur. Dokumen yang diajukan debitur juga tidak memenuhi syarat.
Penyimpangan lainnya yakni penetapan plafon kredit tidak memperhatikan kebutuhan riil proyek yang akan didanai serta nilai agunan yang diajukan debitur tidak mencukupi.
BPK menemukan pencairan dana kredit tetap dilakukan meskipun syarat-syarat pengajuan kredit dan pencairan tidak terpenuhi. Kemudian, dana pinjaman tidak sesuai tujuan pemberian kredit.
Pada saat jatuh tempo, PT SBI tidak dapat melunasi pinjamannya sebesar Rp 268,25 miliar. Yang terdiri dari tunggakan pokok sebesar Rp 222 miliar dan tunggakan bunga Rp 48,25 miliar.Berdasarkan perhitungan BPK, kerugian negara kini telah membengkak menjadi Rp 270,26 miliar.
Penyimpangan serupa terjadi pada pemberian kredit kepada PT VS. Bank Papua sempat melakukan restrukturisasi kredit PT VS. Namun upaya ini tak berhasil membuat PT VS memenuhi kewajibannya.
Ketika jatuh tempo, PT VS takdapat melunasi kredit kepadaBank Papua dengan jumlah tunggakan pokok Rp73,09 miliar dan tunggakan bunga Rp16,03 miliar. Menurut BPK, total kerugian negara hingga kini sudah mencapai Rp89,13 miliar.
Para pelaku kredit macet ini bakal dijerat dengan UUTindak Pidana Korupsi dan UUTindak Pidana Pencucian Uang (TPPU). Polisi juga membidik PT SBI dan PT VS sebagai tersangka korporasi dengan Peraturan Mahkamah (Perma) Nomor 13 Tahun 2016 tentang Tata Cara Penanganan Tindak Pidana oleh Korporasi.
Kilas Balik
Kejaksaan Selidiki Raibnya Dana Investasi Bank Maluku Rp 262 M
Kejaksaan Tinggi Maluku menyelidiki raibnya dana investasi Bank Maluku Rp 262 miliarakibat transaksi repurchaseagreement (repo) fiktif dengan Andalan Artha Advisindo (AAA) Sekuritas.
Kepala Seksi Penerangan Hukum Kejati Maluku, Samy Sapulete mengungkapkan tim penyelidik sudah meminta keterangan sejumlah pihak terkait. Mulai dari pejabat Bank Maluku hingga Otoritas Jasa Keuangan (OJK). “Kita tetap jalan, hanya ada proses dan tahapannya. Dan kasus ini kan masih di tahap penyelidikan,” ujar Samy.
Ia mengungkapkan, penyelidikan hampir rampung. Selanjutnya, tim penyelidikan akan melakukan ekspose perkara untuk menentukan kelanjutan kasus ini.
Kasus raibnya duit Bank Maluku ini pernah dilaporkan Gubernur Maluku Said Assagaf ke Badan Reserse Kriminal (Bareskrim) pada 6 Januari 2015. Belakangan kasus ini ditangani kejaksaan. Termasuk kasus dugaan korupsi pengadaan kantor cabang Bank Maluku di Surabaya.
Berdasarkan hasil penyelidikan OJK, transaksi repo antara Bank Maluku dengan AA Sekuritas tanpa didasari underlying transaction yang telah diperjanjikan.
OJK menemukan, AAA Sekuritas seharusnya menempatkansurat berharga yang ditransaksikan dimaksud pada sub account masing-masing bank pada Kustodian Sentral Efek Indonesia (KSEI). Namun hal tersebut tidak dilaksanakan.
OJK pun meminta Bank Maluku untuk menghentikan sementara waktu transaksi surat berharga korporasi sampai bank tersebut menerapkan manajemen risiko yang memadai atas transaksi surat berharga.
Dalam kasus pengadaan kantor cabang di Surabaya, kejaksaan menetapkan bekas Dirut PT Bank Maluku, Idris Rolobessy sebagai tersangka bersama Pedro Tentua, Kepala Divisi Rencana Strategis.
“Dari hasil penyelidikan dan penyidikan, maka kami berkesimpulan bahwa keduanya bertanggung jawab dalam masalah ini, yakni IR dan PT,” kata Asisten Tindak Pidana Khusus Kejati Maluku, Viktor Saut Tampuboplon memberikan keterangan pers pada 29 Maret 2016.
“Jadi, penetapan keduanya sebagai tersangka berdasarkan alat bukti yang cukup. Keduanya ikut berperan penting dalam kasus ini sejak awal hingga penyetoran uang,” sebut Viktor.
Dia mengungkapkan, dari hasil pemeriksaan sementara, penyidik menyimpulkan telah terjadi kerugian negara mencapai Rp 7,6 miliar dalam kasus tersebut. Penyidik uang tunai Rp 265 juta terkait kasus ini.
Pengadaan lahan dan bangunan kantor cabang Bank Maluku di Surabaya sebelumnya dianggarkan Rp 45 miliar. Namun terjadi di-mark up hingga menjadi Rp 54 miliar.
Belakangan, Hentje Toisutta, Direktur CV Harves juga ditetapkan sebagai tersangka.
Pada 28 Maret 2017 lalu, Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) Ambon menyatakan Idris terbukti melakukan korupsi dalam pengadaan kantor cabang di Surabaya.
Idris pun dijatuhi hukuman 8 tahun penjara, denda Rp3 miliar subsider 6 bulan kurungan dan membayar uang pengganti kerugian negara Rp 100 juta subsider 6 tahun penjara.
Adapun Hentje dihukum 9 tahun penjara, denda Rp 1 miliar subsider 4 bulan kurungan dan membayar uang pengganti kerugian negara Rp 7,2 miliar subsider 4 tahun penjara. Sementara Petro dihukum lebih ringan yakni penjara 6 tahun dan denda Rp 500 juta.(rmol)
Discussion about this post