Oleh: Eko Sulistyo
Deputi Komunikasi Politik dan Diseminasi Informasi Kantor Staf Presiden
Pancasila adalah konsensus nasional yang menyatukan Indonesia yang majemuk menjadi satu ikatan bangsa bernama Indonesia. Para pendiri bangsa yang merumuskan Pancasila menyadari bahwa Indonesia memiliki ribuan pulau, ratusan bahasa, suku, dengan tradisi budayanya yang beragam. Untuk itu, diperlukan landasan bernegara yang bisa diterima semua pihak.
Dengan demikian, Pancasila selain menjadi dasar dan falsafah negara, sekaligus alat pemersatu bangsa. Selain itu, Pancasila juga menjadi “roh” penggerak bangsa Indonesia dalam menapaki setiap tantangan zaman. Dalam menghadapi tantangan ini, nilai-nilai ideal yang terkandung dalam kelima sila Pancasila harus menjadi realitas bangsa.
Sebagai penggagas Pancasila, Soekarno sendiri pernah mengatakan, Pancasila baru akan menjadi realitas dengan “perjuangan, perjuangan dan sekali lagi perjuangan.” Perjuangan itu akan berlanjut terus dalam Indonesia merdeka sebagai sebuah bangsa. “Nanti kita bersama-sama sebagai bangsa yang bersatu padu, berjuang terus menyelenggarakan apa yang kita cita-citakan dalam Pancasila” (Soenardi, 1978).
Untuk itu, Pancasila adalah ruang yang hidup dan dinamis dalam merespon tantangan zaman. Sebagai ruang hidup, Pancasila mempunyai sejarah dan proses penerimaan yang dinamis di antara warga negara. Proses dinamis yang menyejarah ini akan terus berlangsung selama Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) berdiri.
KONSENSUS BANGSA
Pancasila juga dapat dianggap sebagai konsensus bangsa untuk memperjuangkan lima agenda pokok visi kebangsaan. Dimana nilai-nilai fundamental yang positif dari ideologi modern diakomodasi seperti keadilan sosial, HAM, kesetaraan, persatuan bangsa, demokrasi serta paham religiusitas. Dalam konteks ini, Pancasila dapat dikatakan kristalisasi semua ideologi bagi panduan bangsa Indonesia melintasi tantangan zaman.
Sementara upaya menuju nilai ideal kelima sila Pancasila adalah sebuah proses sejarah panjang bangsa Indonesia yang terus berlangsung sampai hari ini. Karena itu, Pancasila terus berproses secara dialektis antara manusia Indonesia dan ide Pancasila di setiap kurun zaman.
Tulisan Yudi Latief, “Soekarno Sebagai Penggali Pancasila” dapat membantu kita memahami visi Pancasila sebagai pokok-pokok moralitas dan haluan kebangsaan di setiap sila yang ada (Yudi Latif, 2013). Dalam sila pertama Pancasila adalah nilai-nilai ketuhanan sebagai sumber etika dan spiritualitas kehidupan bernegara. Sebagai negara yang dihuni multi agama dan keyakinan, negara harus melindungi dan mengambil jarak yang sama terhadap semua agama/keyakinan.
Nilai-nilai sila kedua Pancasila adalah “prinsip kebangsaan” yang mengarah pada persaudaraan dunia. Keluar, bangsa Indonesia akan ikut dalam ketertiban dunia berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial. Kedalam, bangsa Indonesia mengakui dan memuliakan hak-hak dasar warga negaranya.
Sila ketiga dari Pancasila menyatakan bahwa Indonesia adalah negara persatuan kebangsaan yang mengatasi paham golongan dan perseorangan. Persatuan dari kebhinekaan masyarakat Indonesia, yang memberi ruang hidup bagi aneka perbedaan agama/keyakinan, budaya, bahasa dan suku bangsa.
Pada sila keempat Pancasila dapat diangap sebagai perwujudan kedaulatan rakyat. Dalam prinsip musyawarah mufakat keputusan tidak didikte oleh golongan mayoritas atau kekuatan minoritas elite-politik dan pengusaha. Sementara sila kelima Pancasila dapat dibaca bahwa bila empat sila dijalankan akan melahirkan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.
PANCASILA ADALAH MASA DEPAN
Menjadikan Pancasila sebagai “realitas” bangsa jelas tidak mudah. Dinamika politik sangat mempengaruhi bagaimana Pancasila ditafsirkan dan dijalankan. Di era Presiden Soekarno, penafsiran Pancasila dianggap sebagai alat mempersatukan bangsa untuk menghantam apa yang disebutnya bahaya neo-kolonialisme dan neo-imperialisme (Neokolim).
Di zaman Presiden Soeharto, Pancasila dijadikan “ideologi negara” untuk membenarkan kekuasaan politik otoritarianisme. Sementara di era reformasi pasca Soeharto (1998), Pancasila seperti “rumah megah yang kosong” yang ditinggalkan para penghuninya. Lalu, bagaimana kita menempatkan Pancasila dalam tantangan zaman saat ini?
Dalam konteks global saat ini, banyak ideologi-ideologi seperti komunisme, liberalisme, sosialisme, nasionalisme bahkan spiritualisme mengalami krisis dan kehilangan legitimasi. Ketika ideologi-ideologi besar itu dianggap gagal, maka pencarian ideologi menemukan dirinya pada cara yang ekstrim, anti kemanusian dan anti peradaban. Masyarakat yang putus asa lalu menggantungkan harapan dan masa depannya pada “monster politik” anti peradaban.
Seperti ISIS di Suriah dan Irak. Bagi kelompok ini, masa depan umat manusia jalan keluarnya adalah dengan ekstrimitas dalam menafsirkan agama, bila perlu dengan membunuh, membasmi umat manusia yang tak sepaham. Ironisnya, sebagian dari anak bangsa termakan ideologi ini. Bahkan ada yang mencoba menerapkanya di Indonesia.
Bangsa Indonesia patut bersyukur, bahwa dimasa lalu para pendiri bangsa sudah menciptakan Pancasila sebagai “ideologi alternatif” yang visioner. Dengan Pancasila, ketika ideologi besar bertumbangan dan mengalami krisis, kita tidak perlu mencari lagi ideologi alternatif. Karena Pancasila adalah ideologi masa depan yang sudah ada di masa lalu dan di masa kini.
Dalam menghadapi krisis ideologi besar saat ini, yang perlu dilakukan adalah mewujudkan nilai-nilai yang ada dalam Pancasila menjadi realitas. Perjuangan itu harus dimulai dari dalam diri bangsa kita sendiri. Seperti disampaikan Presiden Jokowi dalam sebuah kesempatan, “Pancasila harus menjadi ideologi yang bekerja, yang terlembagakan dalam sistem, dalam kebijakan baik di bidang ekonomi, politik maupun sosial budaya”.
Oleh karena itu, gagasan Presiden Jokowi menggagas Unit Kerja Presiden untuk Pemantapan Ideologi Pancasila adalah gagasan yang patut didukung. Presiden merasa Pancasila semakin menjauh, tidak hanya dalam hati dan pikiran, tapi juga aktivitas warga negara. Sementara ancaman intoleransi, kekerasan atas nama agama, terorisme bisa mengganggu ketertiban sosial.
Namun, pemerintah tidak perlu mengulangi cara Orde Baru menjadikan Pancasila sebagai indokrinisasi untuk mendukung kekuasaan. Pancasila harus menjadi nilai-nilai kewarganegaraan yang dijalankan secara kongkrit dalam kehidupan sehari-hari. Pancasila harus bermakna bagi petani, buruh, perempuan, kaum miskin, intelektuil, dan ekonomi rakyat.
Akhirnya, masa depan Pancasila tidak bisa hanya tergantung pada negara dan pemerintah saja. Pancasila harus menjadi realitas yang mampu menjawab tantangan kehidupan masyarakat secara nyata.
Sumber : Koran Sindo, Rabu, 31/5/2017.
Discussion about this post