UTUSANINDO.COM – Para pemimpin dunia mengkritik keputusan AS yang mundur dari kesepatana iklim Paris 2015
Para pemimpin dunia menyatakan kecewa terhadap keputusan Amerika Serikat mundur dari kesepakatan iklim Paris 2015.
Prancis, Jerman dan Italia mengeluarkan pernyataan bersama yang menolak perundingan ulang terhadap kesepakatan tersebut, seperti yang diinginkan Presiden AS Donald Trump.
“Kami menganggap kesepakatan di Paris pada Desember 2015 tidak dapat diubah. Kami sangat yakin bahwa kesepakatan itu dapat dirundingkan ulang, karena ini adalah instrumen penting bagi planet, masyarakat dan ekonomi kita,” demikian isi pernyataan bersama itu.
Sebelumnya, Presiden Donald Trump telah mengumumkan bahwa Amerikat Serikat mundur dari kesepakatan iklim Paris 2015.
Dia menambahkan langkah untuk merundingkan kesepakatan baru yang ‘adil’ yang tidak merugikan dunia usaha dan pekerja AS akan dimulai.
Sejumlah orang menggelar unjuk rasa di Kedutaan Besar AS di London menjelang pengumuman Trump mundur dari kesepakatan Paris.
Trump menggambarkan kesepakatan Paris sebagai perjanjian yang ditujukan untuk memincangkan, merugikan, dan memiskinkan Amerika Serikat.
Dia berpendapat kesepakatan akan menyebabkan kehilangan Produk Domestik Bruto sebesar US$3 triliun dan 6,5 juta lapangan kerja, sementara saingan ekonomi seperti Cina dan India mendapat perlakuan yang lebih baik.
Selain dikritik Prancis, Jerman dan Italia, keputusan Trump juga dikritik oleh Kanada. Menteri Lingkungan Hidupnya, Catherine McKenna, yang mengatakan Kanada “sangat kecewa” atas keputusan Presiden Trump.
Di London, Perdana Menteri Inggris, Theresa May mengungkapkan kekecewaannya dan mengatakan kepada Trump bahwa kesepakatan Paris untuk melindungi “kemakmuran dan keamanan generasi mendatang”.
Pemimpin Swedia, Finlandia, Denmark, Norwegia, serta Islandia juga mengutuk langkah AS mundur dari kesepakatan tersebut.
Kesepakatan Paris 2015 mengikat Amerika Serikat dan 187 negara untuk menjaga kenaikan temperatur global ‘jauh di bawah’ 2’C (3,6’F).
Sementara itu mantan presiden Indonesia, Megawati Soekarnoputri, juga menyinggung kesepakatan Paris 2015 dalam pidatonya di Forum Perdamaian dan Kesejahteraan 2017 di Jeju, Korea Selatan, Kamis (01/06).
“Perjanjian ini mengubah pola struktur penurunan emisi yang sebelumnya diatur dalam Perjanjian Kyoto. Sudah saatnya kita serius berupaya keras bersama-sama mencapai target penurunan emisi dunia.”
Megawati juga meminta agar semua pihak terlibat dalam gerakan yang disebutnya sebagai ‘keadilan iklim’.
“Kita pun perlu membangkitkan kesadaran negara-negara maju, yang terindikasi kuat berkontribusi selama bertahun-tahun terhadap menumpuknya gas rumah kaca di atmosfir. Kini tiba waktunya mereka melunasi ‘hutang emisi’ tersebut,” tegasnya.
Dari dalam negeri AS, keputusan Trump juga menimbulkan gelombang protes. Mantan Presiden AS, Barack Obama, yang terlibat langsung di balik kesepakatan Paris, langsung melontarkan kritik dan menuduh administrasi Trump “menolak masa depan”.
Politisi Partai Demokrat Chuck Schumer menyebut keputusan tersebut sebagai “salah satu langkah kebijakan terburuk yang dibuat pada abad ke-21, karena akan mengakibatkan bencana pada ekonomi kita, lingkungan kita dan posisi geopolitik kita”.
Tetapi pimpinan Kongres dari Partai Republik dan kalangan industri batubara AS mendukung langkah Trump.
Sementara, Juru bicara PBB mengatakan bahwa keputusan AS itu menimbulkan “kekecewaan bagi upaya dunia mengurangi emisi gas rumah kaca dan mempromosikan keamanan global”.
Negara-negara kepulauan, terutama yang berukuran kecil, yang keberadaannya terancam oleh kenaikan permukaan air laut, akan terdampak akibat keputusan AS tersebut.
Amerika Serikat menyumbang sekitar 15% emisi karbon global.
Presiden Kepulauan Marshall, Hilda Heine, mengatakan bahwa kesepakatan Paris 2015 “sangat penting bagi kami yang hidup di garis depan perubahan iklim”.
Pengusaha teknologi Elon Musk memastikan dia telah meninggalkan posisinya sebagai penasihat administrasi Presiden Trump sebagai protes atas keputusannya.
Amerika Serikat menyumbang sekitar 15% emisi karbon global namun juga merupakan sumber keuangan dan teknologi yang penting bagi negara-negara berkembang dalam upaya mengatasi peningkatan temperatur.
Kesepakatan Paris tahun 2015 lalu mengikat Amerika Serikat dan 187 negara untuk menjaga kenaikan temperatur global ‘jauh di bawah’ 2’C (3,6’F) dan ‘berupaya membatasi’ pada 1,5’C.
Hanya Suriah dan Nikaragua yang tidak menandatangani kesepakatan itu.
sumber : bbc Indonesia
Discussion about this post