UTUSANINDO.COM,(JAKARTA)- Mohammad Hatta selalu dikenal sebagai Bapak Koperasi Indonesia. Ia salah seorang pendiri bangsa yang menawarkan sistem ekonomi koperasi untuk digunakan di Indonesia.
Koperasi memang bukan ide orisinil Bung Hatta. Ia hanya menggali kembali sistem ekonomi yang cocok untuk negara yang baru berdiri ketika itu.
Sejak awal ke-19, koperasi di Nusantara sudah ada. Sejarawan Alwi Alatas melihat ada beberapa faktor munculnya koperasi di Hindia Belanda. Faktor pertama ialah politik etis yang saat itu gencar didengungkan di Pemerintah Belanda. Faktor kedua sebelum diberlakukannya politik etis banyak pedagang pribumi terjerambabnya ke dalam hutang.
Alumnus Universitas Antar Bangsa Malaysia ini mengatakan saat itu perekonomian pribumi sangat sulit. Pribumi selalu menjadi kalangan terakhir yang mendapat keuntungan dalam setiap kegiatan ekonomi. Kesulitan ekonomi ini yang membuat rakyat Hindia Belanda harus berhutang.
Pada saat itu Pemerintah Hindia Belanda membuat struktur hierarki masyarakat. Kalangan pertama ialah orang-orang Belanda dan Eropa, kedua masyarakat yang berasal dari Asia Timur seperti Cina, Arab dan India, dan yang terakhir pribumi menjadi kalangan masyarakat yang paling bawah. Struktur ini yang membuat kaum pribumi termiskinkan.
Alwi bercerita pada sekitar 1920-an para pengrajin batik di Garut berusaha keluar dari lingkaran hutang. Pada saat itu para pengarajin batik di Garut harus berutang ke orang-orang Timur Asing, terutama Cina yang memiliki jaringan kain putih sebagai bahan utama batik. Para pengerajin batik di Garut harus menghutang kepada penjual bahan-bahan tersebut.
Para pedagang tersebut pun tidak mau hutangnya dilunaskan. Menurut Alwi para pedagang dari Timur Asing tersebut tidak mau hutangnya dilunasi karena dengan hutang tersebut mereka mengikat para pengrajin batik. Dengan begitu pedagang dari Timur Asing dapat memonopoli pasar bahan-bahan batik.
Suatu ketika para pengrajin ingin memotong jalur distribusi bahan-bahan tersebut. Mereka ingin membeli langsung dari produsennya. Karena saat itu para pengerajin mendapat peluang dari Pemerintah Hindia-Belanda yang berdasarkan politik etis. Mereka dapat membeli bahan-bahan yang mereka perlukan dari ekportir.
“Tapi importir memiliki syarat para pengarajin ini tidak memiliki hutang,” kata Alwi.
Maka para pengerajin batik tersebut berbondong-bondong menyelesaikan hutang mereka ke para pedagang Timur Asing. Namun pedagang pertama yang mereka datangi tidak mau hutangnya dilunasi. Karena takut kehilangan pasar dan pelanggan. Namun setelah negosiasi yang panjang dan keras disertai dengan ancaman pedagang bahan tersebut mau hutangnya dilunasi.
Setelah para pengarajin batik menemui pedagang tersebut ia baru sadar pengerajin ingin memotong jalur distribusi. Ia pun menghubungi pedagang Timur Asing lainnya. Memperingatkan para pengerajin yang ingin menyelesai hutang mereka. Para pengerajin akhirnya menyambangi pedagang kedua untuk melunasi hutang mereka. Pedagang kedua menolak dengan keras. Hingga akhirnya terjadi negosiasi yang juga keras dan disertai ancaman. Pedagang kedua pun akhirnya menyerah dan menerima pelunasan hutang para pengerajin.
“Ada dalam catatan sejarah, ada bukunya ditulis oleh anak pelaku sejarah,” kata Alwi.
Alwi mengatakan koperasi menjadi ekonomi alternatif untuk mengeluarkan pribumi dari kemiskinan karena penjajahan. Sistem ekonomi kapitalis Pemerintah Hindia-Belanda menyebabkan kesenjangan ekonomi antara pribumi dan Belanda sangat tinggi. Karena dalam sistem kapitalisme yang terpenting adalah modal.
Kekuatan ekonomi orang-orang Belanda saat itu sangat besar. Hingga tidak mungkin pribumi dapat menyangi apalagi mengungguli pengusaha-pengusaha Belanda dan Eropa.
“Ada yang mempunyai kekuatan ekonomi, tapi jika dilihat dari pengusaha-pengusaha Belanda dan Eropa saat itu, pengusaha-pengusaha pribumi masih ditataran menengah dan kecil, kekuatan ekonominya sangat kecil sekali dibandingkan perusahaan-perusahaan Belanda. Semua perusahaan besar saat itu dimiliki oleh orang Belanda dan Eropa dan sangat sedikit orang Cina,” katanya.
Pada awal abad kesembilan belas Pemerintah Hindia-Belanda mulai memberlakukan politik etis. Salah satunya dengan menyediakan perangkat hukum dan kebijakan terkait koperasi. Menurut Alwi Pemerintah Hindia-Belanda memang membuat beberapa peraturan tapi tidak banyak membatasi pergerakan pribumi dalam mendirikan dan menyelenggarakan koperasi.
“Ada peraturan mana diperbolehkan mana yang tidak tapi membatasi saya kira tidak,” katanya.
Pada 1920-1935, kata dia, banyak koperasi didirikan. Ada yang bertahan cukup lama tapi lebih banyak yang berguguran. Salah satu yang dapat bertahan lama koperasi Perhimpunan Saudara di Bandung. Koperasi ini menjadi koperasi simpan-pinjam yang berkembang menjadi bank. Alwi mengatakan koperasi ini lama bertahan sampai akhirnya di merger dengan perusahaan lain pada zaman Orde Baru.
Selain Koperasi Perhimpunan Saudara ada Koperasi Madu Tawon yang memperoleh untung besar. Koperasi ini didirikan petani teh di Tasikmalaya. Pada 1920 harga teh melambung tinggi dipasar internasional. Koperasi ini pun mendapatkan deviden yang sangat besar. Alwi mengatakan ada saatnya koperasi ini mendapatkan lebih dari 5.000 Golden.
Para petani berdebat tentang deviden yang ingin dibagi ke para anggota koperasi. Alwi mengatakan saat itu ada dua kubu yang memperdebatkan hasil deviden tersebut. Kubu pertama ingin dividen digunakan untuk memperluas dan memperbesar unit usaha. Sedangkan kubu lainnya ingin dividen langsung dibagikan ke anggota.
Namun akhirnya mereka memilih dividen segera dibagikan. Hingga pada 1935 terjadi “The Great Deppresion” atau Depressi Hebat dalam ekonomi global. Harga komoditas termasuk teh menjadi anjlok. Alwi berkata, belum ada penemuan apakah koperasi Madu Tawon bertahan atau tidak tapi menurutnya Madu Tawon bertahan sampai menjelang kemerdekaan.
Selain Perhimpunan Saudara dan Madu Tawon menurut Alwi masih banyak beberapa koperasi yang tumbuh cukup besar. Banyak anggapan bahkan dari Pemerintah Hindia-Belanda sendiri yang melihat koperasi sistem ekonomi yang cocok untuk rakyat Nusantara.
“Seperti Mohammad Hatta, Bung Karno juga begitu, melihat masyarakat Indonesia yang komunal, gotong-royong dan guyup karena itu koperasi dinilai sangat cocok untuk Indonesia,” kata Alwi.
Alwi mengatakan salah satu artikel yang ditulis Jennifer dan Paul Alexander yang berjudul Protecting Peasants from Capitalism: The Subordination of Javanese Traders by the Colonial State sudah menjabarkan usaha Pemerintah Hindia-Belanda untuk “melindungi” petani pribumi justru menahan pribumi untuk meningkat daya ekonomi mereka. Stigma masyarakat pribumi yang tidak mampu mengelola keuangan memperkuat argumen tersebut.
Dalam Pidato Hari Koperasi 12 Juli 1977 Bung Hatta pun mengatakan cita-cita koperasi sudah ada sejak zaman penjajahan Belanda. Cita-cita ini dinilai sebagai jalan yang terbaik untuk membangun ekonomi rkayat yang lemah. Pada saat itu, kata Bung Hatta, sudah banyak yang mengetahui dan mencontoh koperasi yang dilakukan oleh buruh Inggris dan petani Denmark pada abad ke-19.
“Berhadapan dengan kekuasaan dan pengaruh kapitalisme yang begitu hebat, hanya organisasi rakyat jelata sendiri, berdasar atas solidaritas dan setiakawan, yang dapat memperbaiki nasibnya,” kata Bung Hatta seperti yang dikutip dari buku Demokrasi Kita, Bebas Aktif, Ekonomi Masa Depan yang diterbitkan oleh UI Press tahun 1997.
Bung Hatta menuturkan pada saat itu belum ada Undang-undang sosial. Orang-orang yang ekonominya lemah mulai berpikir organisasi harus dihadapi dengan organisasi. Organisasi yang tepat bagi buruh dan petani ialah koperasi. Apabila kapitalisme, kata Bung Hatta, berkembang dengan semangat indivualisme, konkurensi merdeka, dan modal yang kuat, koperasi dasarnya kerja sama, tolong-menolong antarorang kecil.
Selain itu, tambah Bung Hatta, koperasi berdasarkan prinsip self-help. Bung Hatta mengatakan sejarah Eropa menunjukkan orang-orang kecil dan lemah dapat bertahan dan meningkat derajat hidupnya dengan berkerja sama dan bantu-membantu dalam menolong diri mereka sendiri.(ROL)
Discussion about this post