UTUSANINDO.COM(JAKARTA) – Komisi Keuangan Dewan Perwakilan Rakyat meminta pemerintah mengkaji ulang pungutan penerimaan negara bukan pajak (PNBP) yang berlaku di sejumlah kementerian dan lembaga. Pengkajian itu menjadi bagian dari penyusunan Rancangan Undang-Undang tentang Penerimaan Negara Bukan Pajak, yang sedang dibahas Dewan.
Pembahasan RUU PNBP merupakan usul pemerintah untuk menggantikan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 1997 tentang PNBP, yang dinilai sudah tak relevan dengan kondisi sekarang. “Aturan pengganti harus memastikan pemungutan tepat sasaran dan berkontribusi besar,” kata Wakil Ketua Komisi Keuangan Hafisz Tohir, saat memimpin rapat dengar pendapat bersama sejumlah kementerian di Kompleks Parlemen, Jakarta, Kamis, 9 Februari 2017.
Menurut Hafisz, saat ini negara tak bisa mengandalkan penerimaan dari sektor pajak saja. “Harus ada terobosan untuk membiayai pembangunan. PNBP bisa menjadi andalan asal sasarannya tepat.” Komisi Keuangan, dia menambahkan, mendorong pemerintah mengintensifkan sekaligus mengekstensifkan pungutan jenis ini.
Anggota Komisi Keuangan dari Fraksi Partai Amanat Nasional, Sukiman, meminta pemerintah selektif menentukan wajib bayar PNBP. “Jangan malah membebani masyarakat kecil.” Bila perlu, anggota Komisi Keuangan dari Fraksi Partai NasDem, Johnny G. Plate, mengusulkan agar kriteria wajib bayar PNBP dicantumkan dalam beleid agar landasan hukumnya lebih kuat. Johnny menilai, jika wajib bayar PNBP hanya diatur menggunakan peraturan menteri, akan mudah dipermasalahkan.
Johnny meminta pemerintah tak cuma mengejar PNBP dari sektor-sektor andalan, atau menaikkan tarif untuk mendongkrak pemasukan. “Malah akan memberatkan dunia usaha kalau begitu.” Ia menyarankan pemerintah memperluas jangkauan pengenaan PNBP.
Sekretaris Jenderal Kementerian Pertanian Harry Priyono sependapat dengan usul itu. Menurut dia, di sektor pertanian masih ada PNBP yang pengenaannya tidak tepat. Misalnya, jasa inseminasi buatan untuk sapi, pembibitan pertanian, atau pembasmian hama. “Jika mengacu pada undang-undang yang berlaku, jasa tersebut harus dibayar oleh pemakainya, yakni petani dan peternak. Ini membebani mereka yang skalanya kecil atau miskin.”
Karena itu, Harry meminta DPR membuat keputusan politis dalam penyusunan RUU PNBP, untuk mengecualikan kelompok masyarakat tertentu. Kementerian Pertanian mengusulkan agar pada Pasal 3 dan 4 yang mengatur obyek PNBP dalam draf RUU ditambahkan kata “tertentu”.
Direktur Jenderal Perikanan Tangkap Kementerian Kelautan dan Perikanan Zulfikar Mochtar, menjelaskan, di sektor kelautan dan perikanan masih banyak ruang untuk menggenjot PNBP. Salah satunya sertifikasi kapal. Pada 2016, Kementerian Kelautan menemukan 90 persen kapal nelayan di daerah didaftarkan sebagai kapal kecil. “Padahal bobotnya 30 gross-ton (GT) ke atas, sehingga pemiliknya wajib membuat sertifikat.”
Hasilnya, kata Zulfikar, PNBP dari proses sertifikasi kapal pada 2016 meningkat menjadi Rp 700 miliar. Padahal tahun sebelumnya hanya Rp 70 miliar. Kementerian Kelautan menargetkan sertifikasi kapal meningkat menjadi Rp 900 miliar pada tahun ini. Dia memastikan, para nelayan kecil dengan kapal berbobot kurang dari 10 GT tidak akan dibebani sertifikasi ataupun membayar PNBP.
Dari sektor agraria, Sekretaris Jenderal Kementerian Agraria M. Noor Marzuki menyatakan masih ada potensi besar PNBP dari sertifikasi tanah. Saat ini, ujar dia, dari 45 juta bidang lahan yang ada dalam pendataan tanah, baru 45 persen yang sudah terdata. “Sisanya belum, sehingga potensinya besar untuk sertifikasi.”
Discussion about this post