Pekanbaru – Tersebutlah dalam sebuah opini narasi deskripsi di dalam kisah ini. Sebelumnya, gambarannya saya urai melalui persepektif sendiri sebagai sumbernya. Terdapatlah sekejab moment langka di tengah-tengah keramaian yang hiruk pikuk saling berebut bicara berdiskusi namun mengasyikan.
Ceritanya, dalam rangka pertemuan H. Jufri Zubir ketengah warga untuk mengetahui apa sebenarnya fenomena nyata di dalam lingkungan masyarakat kota Pekanbaru. Pagi itu, mendengar laporan dari salah satu anggota tim yang mengabarkan bahwa adanya beberapa warga berkeinginan sekali menceritakan beragam persoalan mereka, hanya saja warga tersebut tidak tahu cara mengkondisikannya. Kemudian, Zul sebagai salah satu anggota tim memberanikan diri untuk menyampaikan perihal itu. Ternyata, seketika mendegar pesan sedemikian, H. Jufri Zubir meminta ketua tim untuk membatalkan keberangkatannya ke Jakarta dan langsung menemui para warga.
Aku sendiri heran, entah apa yang ada dalam pikiran pak H. Jufri Zubir. Dia lebih memilih masyarakat dari pada bisnisnya di Jakarta.
Di ujung perjalanan, kami mendapati sedikit masalah. Perjalanan kami terhalang oleh gang sempit yang macet dan tidak memungkinkan untuk kendaraan memasukinya. Padahal, 100 meter lagi adalah lokasi pertemuanya.
“Gimana nih bang, jalanannya sempit dan macet?” Tanya ketua tim yang sedang menyetir mobil.
“Kita turun, kita jalan kaki!!”, tegas pak haji.
“Ga apa-apa nih bang?” Tanya ketua lagi.
“Jangan khawatir, kita berjalan untuk rakyat, semata untuk rakyat. Ayo turun!!” singkat pak Haji.
Kemudian, aku yang duduk di sebelah ketua ikut turun. Semuanya turun berjalan kaki ke lokasi warga. Sedangkan pak Haji sendiri yang memimpin di depan.
Setibanya di salah satu rumah, H. Jufri Zubir disambut oleh ratusan warga yang tadinya hanya sekitar belasan orang warga. Sebagai pelaksana agenda, Zul pun merasa kaget, padahal dirinya merencanakan untuk berbicara dengan belasan orang saja. Itulah ungkapan kekagetan yang disampaikan Zul kepadaku.
Di dalam hatiku, rasa salutpun makin tumbuh bertambah untuk H. Jufri Zubir. Pastinya warga merasa ingin sekali bertemu ramah bersama beliau, itulah sebabnya tadinya hanya belasan orang, dan sekarang menjadi ratusan warga berkumpul menyambut beliau.
Lebih mengagetkan lagi, ketika itu entah dari mana datangnya, makananpun sudah banyak tersedia demi berlangsungnya acara. Dugaanku, makanan-makanan itu disuguhkan oleh warga. Makin top markotop deh figur pak haji di dalam diriku, tentunya yang lain juga merasakan hal sama sepertiku.
Kemudian, H. Jufri Zubir bersama rombongan masuk ke dalam rumah dan duduk bersila saling bertukar pikiran dan bercengkrama layaknya saudara sendiri. Aku duduk di pojok sekali setelah cukup lelah membagikan air gelas untuk semuanya.
Dari sudut, aku selalu memperhatikan H. Jufri Zubir dikelilingi warga yang memulai pembicaraan satu per satu. Awalnya memang satu per satu, tapi beberapa saat kemudian semuanya berebut bicara menyampaikan rasa keluh kesah yang dialami mereka selama ini.
“Pak, kami merasa susah sekali tentang pendidikan anak-anak kami yang berbiaya, tolonglah dibantu nantinya jika bapak menjadi walikota?” ungkap Ibu Sri yang kutanyai namanya setelah acara usai.
Tanpa pikir panjang, H. Jufri Zubir menjawab pertanyaan ibu rumah tangga tersebut.
Semua warga terpukau mendengar jawaban itu. Mereka terhening sejenak. Sementara akupun ikut terdiam dan merasakan sekali betapa sedihnya bila pemimpin sekarang membiarkan penekanan biaya pendidikan itu terjadi. Memang kuakui sangat tidak ada harga dirinya jika pemimpin tega membiarkan masyarakatnya sulit mendapatkan pendidikan. Padahal seharusnya pendidikan dasar itu harus dibebaskan dari biaya-biaya.
Selanjutnya, pertanyaan kedua datang lagi. Kali ini dari ibu pedagan pasar.
“Pak haji, mengapa dagangan kami di pasar sudah sepi pembeli semenjak pasar berantakan?” Tanya ibu itu.
Lalu H. Jufri Zubir seketika menjawabnya kembali.
“InshaAllah, nantinya pasar akan saya tata kembali. Mulai dari segala akses maupun hal-hal yang akan meringankan semua pedagang akan diupayakan kembali. Karena pasar akan hidup bila semua masalah mengakar di dalamnya bisa kita tuntaskan. Tentunya pedagang akan kembali seperti sedia kalanya berdagang dengan meraup keuntungan seperti dulu, begitu juga dengan pembeli yang akan dimudahkan dengan adanya terbangun akses dan penataan yang bagus.” kata pak haji.
Akupun kembali tercengang mendengar ulasan-ulasan itu. Menurutku, H. Jufri Zubir itu memang sangat cakap dan tahu segala persoalan, apalagi mengenai solusi untuk masyarakat. Entah mengapa, tidak dari dulu ia yang memimpin kota bertuah ini.
Begitulah selanjutnya dengan pertanyaan-pertanyaan lain yang dilontarkan ibu-ibu itu. Pak haji selalu menjawab dengan cakap dan membuat kelegaan di hati mereka.
Lalu, ada suatu yang membuatku kaget. Aku permisi sebentar ke toilet tepat berada di ruangan depan. Aku melintas di depan para ibu-ibu itu satu per satu, daripada kebocoran ditengah-tengah mereka yang tiada pernah sekalipun terbayang olehku.
Setelah keluar dari toilet, pandanganku menoleh kearah kanan dan melihat para tim sedang sibuk melahap makanan. Wah geram sekali karena tak ada yang mengajakku satupun, padahal perutku juga lapar. Sontak, yang terpikirkan olehku adalah Pak H. Jufri Zubir. Apakah beliau sudah makan apa belum.
“Eh, itu pak haji ga ditawari makan?” teriakku kepada tim.
“Udah kita tawari dari tadi Bang Dani” tukas Fadli, dari kejauhan sambil asyik ngunyahin makanan.
“Begitu ya, caranya. Kok aku ga ditawarin sih?” tanyaku geram.
“Abisnya kamu ga kelihatan Dan. Makanya kalau duduk itu jangan dipojok dong, kami kan tidak tahu keberadaan engkau di sana sobatku”, bujuk Zul kepadaku.
“Dani, makan yuk brother!”, semuanya serentak menawari.
Perut yang sedang lapar kala itu mampu mengalahkan perassaan kesalku. Tanpa ragu, bungkusan makanan kuambil lalu terlahaplah sudah. Ditengah suapan, aku kepikiran lagi tentang pak haji. Makanpun kuhentikan sejenak dan menawari pak haji untuk makan dengan berbisik ke beliau.
“Pak, udah makan belum, yuk kita makan?” tawarku.
Pak haji membalas tawaranku dengan mengangguk-anggukan kepalanya. Ibu-ibu yang melihatku begitu, langsung saja menawarkan pak haji makan.
“Waduh pak, maaf kami terlalu senang bercerita dengan bapak sehingga lupa waktu makan siang. Kita makan yuk pak” ajak ibu-ibu itu serentak.
“Baiklah, kita makan bersama aja di sini ya ibu-ibu” balas pak haji. Bungkusan berisi makanan yang telah disajikan disantap bersama-sama diawali dengan berdoa masing-masing. Akupun kembali kedepan melanjutkan makanan yang kutinggal.
Setelah itu, kita semua pulang. Aku tidak sanggup lagi menceritakan kejadian sepulangnya. Karena hal itu diluar kuasaku. Bagaimana situasi dan kondisi disaat perjalanan pulang takkan pernah mampu kuceritakan lagi. Soalnya setelah kupikir-pikir aku masih sulit untuk menceritakanya. Alasanya hanyalah satu, sewaktu pulang aku ketiduran di dalam mobil, dan tiadalah yang dapat kuceritakan. Namanya aja orang lagi tidur mana tahu lagi dengan keadaan yang ada. Udah dong jangan dibaca lagi, ga ada lagi ceritanya. Udah..udah..udah hentikan bacanya ceritanya habis. Stop dong, ceritanya EMPTY. Wasalamuallaikum. (dan)
Discussion about this post